Karangan Konjen RRT di Denpasar
Bapak Hu Yinquan
Tahun ini berdasarkan latar belakang telah 25 tahun terjalinnya hubungan dialog antara Tiongkok dan ASEAN, Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri Tiongkok-ASEAN baru selesai digelar di Tiongkok belum lama ini. Pertemuan ini merupakan pertemuan kolektif pertama kalinya antara menteri-menteri luar negeri dari kedua belah pihak dalam tahun ini. Pertemuan ini tidak hanya memperkokoh dan memperluas konsensus kerja sama antara Tiongkok dan ASEAN, tetapi juga mengeluarkan suara bersama bahwa Tiongkok dan negara-negara ASEAN berupaya untuk menjaga perdamaian dan kestabilan regional. Boleh dikatakan pertemuan ini menjadi sebuah komunikasi strategis yang tepat waktu dan penting.Namun, beberapa media dari negara barat dengan sengaja menghubungkan pertemuan ini dengan kasus arbitrase isu Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang diajukan secara sepihak oleh Filipina, mereka berspekulasi pertemuan ini sebagai sesuatu tindakan diplomatik sepesial yang diambil oleh Tiongkok terhadap keputusan arbitrase yang akan dikeluarkan. Bahkan, segelintir media barat mengklaim bahwa negara-negara ASEAN telah mengeluarkan "Deklarasi Bersama" mengenai isu LTS, dan terus menyebarkan opini publik yang buruk terhadap Tiongkok.
Pada dewasa ini, beberapa teman Indonesia yang telah membaca berita terkait ini bertanya kepada saya mengapa isu LTS beberapa tahun ini terus memanas? Mengapa Filipina secara sepihak mengajukan arbitrase terhadap isu LTS? Bagaimana tanggapan Tiongkok terhadap isuLTS? Saya yakin ada banyak teman Indonesia yang masih belum paham kebenarannya dan bertanya yang sama. Untuk membantu teman-teman agar memahami kebenaran isu LTS, saya ingin membuat jawaban singkat mengenai beberapa pertanyaan yang diragukan semua orang.
Pertama, Mengapa isu LTS menjadi titik panas dan fokus perhatian regional serta internasional dalam beberapa tahun ini?
Banyak fakta sejarah telah membuktikan bahwa Tiongkok berdaulat atas pulau-pulau di LTS, diantaranya Kepulauan Xisha (Kepulauan Paracel), Kepulauan Nansha (Kepulauan Spratly), Kepulauan Zhongsha (Kepulauan Macclesfield) dan Kepulauan Dongsha (Kepulauan Pratas). Pulau-pulau ini merupakan wilayah Tiongkok sejak zaman dahulu. Tiongkok adalah negara yang paling awal menemukan, menamakan, mengeksploitasi, dan mengelola kepulauan tersebut. Pemerintah Tiongkok telah terus menerus melakukan yurisdiksi atas pulau-pulau di LTS dan perairan sekitarnya melalui cara seperti pengaturan administrasi, patroli militer, mengadakan aktivitas produksi dan pengelolaan bisnis, serta kegiatan penyelamatan laut. Kedaulatan atas pulau-pulau di LTS dimiliki Tiongkok itu sudah merupakan kesadaran meluas masyarakat internasional, dan sebagian negara terkait telah secara publik mengakui kedaulatan pulau-pulau di LTS itu dimiliki Tiongkok dengan cara nota diplomatik, peta penerbitan, konferensi internasional, dan sebagainya. Sebelum tahun 70-an abad lalu, masyarakat internasional termasuk Filipina tak pernah mengajukan keraguan atas hal ini.
Pada tahun 1968, suatu organisasi yang berafiliasi pada Komisi Ekonomi PBB untuk Asia dan Timur Jauh menerbitkan laporan investigasi, menyatakan LTS bersumber daya yang melimpah yaitu minyak dan gas. Sejak itulah, negara Filipina dan beberapa negara lain mulai secara ilegal menduduki sejumlah pulau dan terumbu Kepulauan Nansha Tiongkok dengan alasan bahwa Kepulauan Nansha lebih dekat dengan garis pantainya sehingga berniat mencoba mengubah kedaulatan Tiongkok atas Kepulauan Nansha. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan keterlibatan dan manipulasi kekuatan luar, isu LTSyang seharusnya diselesaikan oleh para pihak bersangkutan melalui musyawarah dan perundingan dibuat-buat menjadi topik keamanan yang cukup panas di kawasan regional. Pada tahun 2013 Filipina tanpa musyawarah dengan Tiongkok, secara sepihak meminta arbitrase terkait pulau dan terumbu Kepulauan Nansha Tiongkok kepada Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, hal ini biang membuat situasi LTS semakin memburuk.
Kedua, Filipina secara sepihak mengajukan arbitrase, apa tujuan sebenarnya itu?
Banyak bukti menyatakan bahwa Filipina secara sepihak mengajukan arbitrase itu tujuan sebenarnya adalah berupaya menyangkal kedaulatan teritorial dan kepentingan maritim Tiongkok atas Kepulauan Nansha dengan cara memanfaatkan beberapa peraturan dari United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), supaya dapat menyembunyikan pendudukan ilegalnya di beberapa pulau dan terumbu di Kepulauan Nansha. Pada 23 Januari 2013, tepat pada hari kedua setelah dimulai proses arbitrase, Kementerian Luar Negeri Filipina mengeluarkan sebuah dokumen tanya jawab mengenai proses arbitrase, dimana dengan jelas digambarkan tujuan arbitrase adalah "melindungi kedaulatan teritorial dan kawasan maritim negara kami", yang berkata "Tidak melepaskan kedaulatan negara kami".
Pada kenyataannya, ruang lingkup wilayah Filipina tidak pernah meliputi Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan, dan ruang lingkupnya telah didefinisikan oleh sejumlah konvensi internasional, di antaranya Treaty of Peace Between the United States of America and the Kingdom of Spain (tahun 1898), Treaty Between the Kingdom of Spain and the United States of America for Cession of Outlying Islands of the Philippines (tahun 1900), Convention Between the United States of America and Great Britain Delimiting the Boundary Between the Philippine Archipelago and the State of North Borneo (tahun 1930). Perjanjian dan konvensi tersebut telah dengan jelas menerangkan bahwa 118 derajat bujur timur adalah batas barat wilayah Filipina, dan Kepulauan Nansha dan Pulau Huangyan sama sekali tidak masuk dalam ruang lingkup Filipina.
Ketiga, Mengapa Tiongkok tidak menerima dan tidak ikut dalam kasus arbitrase isu LTS?
Pertama, menurut UNCLOS, untuk menyelesaikan persengketaan maritim, cara yang diutamakan adalah melalui musyawarah dan perundingan antara negara-negara yang berhubungan langsung. Sedangkan cara arbitrase hanya cara pelengkap dan sekunder. Sebelum mengadakan musyawarah dengan pihak Tiongkok, pihak Filipina secara sepihak dan bersikeras mengajukan tuntutan arbitrase LTS, hal ini dengan nyata dan jelas melanggar ketentuan UNCLOS.
Kedua, ternyata Filipina memungkiri komitmennya mengenai menyelesaikan sengketa LTS antara kedua pihak melalui musyawarah dan perundingan bilateral. Komitmen ini tercatat dalam Deklarasi Prilaku Berbagai Pihak LTS (DOC) dan beberapa persetujuan yang ditandatangani oleh Tiongkok dan Filipina pada tahun 1999 dan tahun 2011.
Ketiga, tuntutan arbitrase yang diajukan oleh Filipina pada dasarnya merupakan persoalan kedaulatan, teritorial, dan delimitasi batas maritim. Sebenarnya UNCLOS sendiri tidak memiliki yurisdiksi atas sengketa teritorial maupun kedaulatan.
Keempat, mengenai delimitasi batas maritim, pada tahun 2006 Tiongkok telah membuat pernyataan untuk mengecualikan sengketa delimitasi batas maritim dari sengketa yang berlaku untuk arbitrase memaksa sesuai dengan ketentuan UNCLOS. Pengecualian tersebut mempunyai kekuatan hukum bagi semua negara yang telah menandatangani UNCLOS. Negara lain tidak berhak mengajukan arbitrase terhadap sengketa yang telah dikecualikan oleh suatu negara, dan pengadilan arbitrase pun tidak memiliki yurisdiksi atas sengketa tersebut.
Tiongkok tentu saja tidak menerima dan tidak ikut dalam tuntutan arbitrase yang ilegal dan tidak masuk akal ini. Dan setelah keputusan arbitrase keluar, Tiongkok takkan mengakui dan menjalani keputusan tersebut. Posisi Tiongkok ini justru untuk melindungi keseriusan dan keutuhan UNCLOS, dan sepenuhnya mencerminkan sikap penghormatannya kepada fakta dan hukum,
Keempat, Musyawarah dan Perundingan akan tetap menjadi pendirian teguh Pemerintah Tiongkok untuk menyelesaikanisu LTS.
Meskipun Tiongkok menjadi korban dalam isu LTS, Tiongkok tetap tegas menahan diri, dengan sikap yang bertanggungjawab dan konstruktif menangani isu LTS, menegakkan caranya atas persoalan ini melalui jalur musyawarah dan perundingan.
Tiongkok berusaha menyelesaikan masalah kedaulatan teritorial dan delimitasi batas maritim melalui musyawarah. Tiongkok berbatasan dengan 14 negara daratan. Sejak berdirinya, Tiongkok telah menandatangani perjanjian perbatasan dengan 12 negara dari 14 negara tetangga tersebut, dengan kurang lebih 20,000 kilometer atau lebih dari 90% garis perbatasan telah ditentukan dan dibatasi. Selain itu, Tiongkok juga telah menyelesaikan delimitasi batas maritim di Teluk Beibu (alias Gulf of Tonkin) dengan negara Vietnam melalui musyawarah.
Tiongkok mengapresiasi dan mendukung "Jalur Ganda" yang dikemukakan oleh negara-negara ASEAN untuk menangani isu LTS, yaitu sengketa-sengketa terkait harus diselesaikan oleh negara-negara yang berhubungan langsung melalui musyawarah dan perundingan, serta berdasarkan hukum internasional dan fakta sejarah. Perdamaian dan kestabilan LTS harus dijaga bersama Tiongkok dan negara-negara ASEAN. Hal ini sesuai dengan hukum internasional dan praktik internasional, dan merupakan kesepakatan penting dan komitmen serius antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN dalam DOC, juga merupakan jalan yang paling praktis dan efektif untuk menangani isu LTS kini.
Kini, sudah hampir 60 negara dengan jelas menyatakan dukungan terhadap posisi Tiongkok mengenai masalah LTS, hal ini mencerminkan tekad masyarakat internasional untuk mempertahankan keadilan dan kejujuran. Tiongkok adalah negara yang cinta damai dan menjunjung tinggi ide "hidup rukun dengan negara tetangga, memperlakukan negara tetangga sebagai mitra". Tiongkok dan Filipina memiliki persahabatan dan hubungan yang baik sejak dahulu, kedua negara ini memiliki persahabatan tradisional yang mendalam. Seperti suatu pepatah Tiongkok "Lebih baik tetangga yang dekat daripada saudara yang jauh". Filipina merupakan negara yang akan terus bertetangga dengan Tiongkok. Oleh karena itu, pintu bermusyawarah Tiongkok selalu terbuka untuk Filipina, dan hanya dengan jalur musyawarah dan perundingan, Tiongkok dan Filipina baru dapat menyelesaikan masalah sengketa secara damai. LTS merupakan jalur internasional yang penting, Tiongkok 80% komoditi perdagangannya perlu melewati jalur LTS. Tiongkok sangat memperhatikan perdamaian dan kestabilan di LTS, dan siap bekerja sama dengan segala pihak, untuk menciptakan LTS menjadi laut damai, laut kerjasama, dan laut makmur. (*)