Denpasar (Antara Bali) - Sanggar Seni Gong Semara Pegulingan "Citta Kelangen" sebagai Duta Kota Denpasar tampil dalam ajang Pesta Kesenian Bali Ke-38 mempersembahkan "Tabuh Petegak" dan tarian penyambutan "Wijaya Kusuma".
Pementasan tarian tersebut mendapatkan sambutan ribuan penonton yang memadati arena Pesta Kesenian Bali (PKB), di Taman Budaya Denpasar, Rabu.
Para penonton dan wisatawan yang berlibur di Pulau Dewata, tidak ketinggalan menyaksikan berbagai pementasan di PKB yang merupakan kegiatan tahunan Pemerintah Provinsi Bali.
Tabuh Petegak Semara Pegulingan dengan apik dan alunan irama gamelan disajikan ke hadapan masyarakat pecinta seni dan wisatawan di ajang PKB tersebut. Liukan tarian para penabuh yang memukul gamelan semar pegulingan melantunkan suara merdu dan menghanyutkan.
Tabuh petegak yang diciptakan I Nyoman Winda terinspirasi dari lekukan berbagai motif ukiran Bali yang memiliki berbagai jenis ukiran pepatram, dan terciptalan sebuah karya tabuh tertuang lewat pengolahan elemen musik yang demikian kompleks dan dinamis dengan tidak mengurangi ritme, pakem keklasikan pada musikal gending Semara Pegulingan.
Usai tabuh petegak, lima orang penari keluar dari candi bentar panggung dengan lemah gemulai menarikan gerakan tari penyambutan "Wijaya Kusuma". Tarian tersebut terinspirasi dari bunga yang berasal Venezuela, Amerika Selatan yang telah berkembang di Indoesia saat perdagangan China di zaman Kerajaan Majapahit membuat penata tari I Komang Adi Pranata mengespresikannya dalam sebuah tarian yang dapat dinikmati masyarakat.
Penata tabuh gamelan I Wayan Reza Pemana Putra, tarian "Wijaya Kusuma" tampil dengan balutan perpaduan kain warna kuning, ungu, dan merah serta kecantikan hiasan bunga yang menghiayasi tata rambut para penari.
Dua penampilan Sanggar "Citta Kelangen" diakhiri dengan Tari Pelegongan "Mimba Pralaya" yang mengisahkan kebajikan dan kebijakan seorang pemimpin akan menjadi teladan dan pengayom kepada rakyat.
Dikisahkan garapan tarian ini dari peristiwa perasaan dendam tragedi yang dialami Ratu Niang dengan julukan Rangda Jro Agung, ketika murka dan membuat petaka bagi siapa pun yang akan mengadakan "pediksan" atau upacara seorang menjadi pendeta.
Pertarungan Rangda Jro Agung menyebabkan kekalahan Gusti Made Lord yang didengar oleh raja kemudian membuat gegelaran Bima Rampag untuk mengalahkan Rangda Jro Agung.
Dari certia garapan tarian tersebut memberikan sebuah pelajaran kepada masyarakat tentang Dharma (kebaikan) akan selalu di atas Adharma (kebatilan). (WDY)