Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menggelar dialog karya terkini berjudul "Dadi Wong Wadon-Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern" (penerbit Pustaka Ifada).
"Dialog tersebut berlangsung selama dua hari, 20-21 Mei 2016 membahas buku karya Risa Permanadeli yang mengungkap problematik sosial yang dihadapi perempuan Indonesia, utamanya perempuan Jawa," kata staf Bentara Budaya Bali Juwita Lasut di Denpasar, Kamis.
Isu-isu seputar perempuan dan feminisme seolah menjadi topik yang tak habis diperbincangkan. Melalui program timbang buku "Pustaka Bentara" akan diulas secara mendalam oleh Maria Hartiningsih.
Buku yang berawal dari disertasi Risa Permanadeli sejatinya berupaya membahas mengenai kehidupan keseharian dan sistem pemikiran masyarakat Jawa.
Dalam buku setebal 442 halaman tersebut dipaparkan mengenai sejumlah problematik sosial yang dihadapi oleh perempuan Jawa, termasuk pula kompleksitas budaya yang hadir sebagai akibat pertemuan arus modern dan pergulatan budaya dari masyarakat Jawa.
Risa Permanadeli adalah pendiri dan Direktur Pusat Representasi Sosial, Jakarta Indonesia, sejak tahun 2005. Dia meraih gelar doktor di Psikologi Sosial dari cole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris-France.
Penelitian berfokus pada elaborasi pemikiran sosial dalam masyarakat non Barat, khususnya di Indonesia.
Dia mengeksplorasi sosial, sejarah dan budaya sebagai platform dari pemikiran sosial dengan menggunakan perspektif Representasi Sosial untuk mempelajari Modernitas dan modernisasi.
Selain itu juga menempatkan peran perempuan; Power dan Representasi sosial, budaya perkotaan, Mitologi, Imajiner dan Tradisi Lisan.
Dia mengajar di Program Pascasarjana Studi Eropa di Universitas Indonesia , dan juga anggota dari Laboratoire Eropa de la Psyhology Sociale, dari Maison des Sciences de l Homme, Paris -France .
"Banyak Perempuan Jawa mengenal istilah Feminisme, tetapi mereka adalah feminisme yang terus bergerak dalam senyap, untuk merebut otonomi diri tanpa keluar dari sistem nilai yang selama ini dianggap sebagai penjara," ungkap Maria Hartiningsih, wartawan senior Kompas, yang juga peraih Yap Thiam Hien Human Rights Award.
Perempuan Jawa mendobrak tanpa suara, melawan tanpa senjata, mendekonstruksi tanpa berteori dan memenangi pertarungan tanpa membuat pihak yang kalah merasa dikalahkan.
Jika dikupas sosok perempuan Jawa, dengan segala problematiknya, bagaimana jika dibandingkan dengan keadaan yang melingkupi perempuan dari latar sosial dan budaya yang berbeda, semisal perempuan Minang, Sunda, Bali, Papua, atau bahkan perempuan dari belahan bumi Afrika dan Eropa.
Dialog juga akan mengulas gerakan penyadaran dan pemberdayaan perempuan di tengah dominasi kemaskulinan, serta posisi budaya patriarki. (WDY)