Sampah mengundang problematika jika dibiarkan tertumpuk tak terurus, dan mengandung berbagai residu yang dapat mencemari Bumi.
Keprihatinan terhadap problematika sampah inilah yang melatari pendirian bank sampah di kawasan Denpasar Utara, yang justru menjadikan sampah plastik menjadi produk berguna.
"Sampah plastik kalau ditangani dengan benar, justru bisa menjadi bahan baku produk yang multiguna. Misalnya, untuk membuat payung, tempat pensil, tas, keranjang, topi, dan berbagai macam produk lain," kata Ni Wayan Riawati, pendiri Bank Sampah Garuda Wastu Lestari (GWL) yang bertempat di Banjar Dakdakan, Kelurahan Peguyangan, Denpasar, Bali.
Sampah plastik yang biasa digunakan sebagai bahan baku, mencakup bungkus berbagai minuman kemasan atau jajan yang lazim dijual di warung-warung, yang mengandung aluminium foil.
Melalui pemotongan yang tepat dan pencucian agar benar-benar bersih, bungkus plastik itu siap untuk dibentuk menjadi berbagai produk yang bermanfaat.
Menurut Riawati, pengolahan bahan baku kemasan plastik menjadi produk kerajinan, dikerjakan oleh sejumlah nasabah bank sampah yang tersebar di berbagai daerah di Bali.
"Kami memiliki total 6.030 nasabah bank sampah di seluruh Bali. Mereka tergabung dalam 71 unit bank sampah di daerah-daerah, sedangkan bank sampah GWL sebagai pusatnya," ujar wanita asli Peguyangan ini.
Dia melanjutkan, supaya proses produksi tak terhenti, maka bank sampah pusat biasanya mengirimkan bahan baku kepada nasabah. Setelah menjadi produk jadi, pihak bank sampah GWL akan membelinya dari nasabah.
Dalam sebulan, nasabah bank sampah rata-rata mampu menghasilkan produk berkisar 150-200 pieces. Kuantitas produk tidak bisa dengan dimaksimalkan, berhubung proses produksi produk lebih banyak menggunakan tangan atau 'handmade'. Di samping itu, nasabah yang mau mengerjakan produk kerajinan pun jumlahnya tidak banyak.
"Meski terkendala jumlah nasabah yang mau mengerjakan produk kerajinan, tapi kami optimistis nanti usaha ini tetap berjalan. Permintaan selalu ada dari dalam dan luar negeri," ucap dia.
Order dari dalam negeri, sering didapatkan dari Jakarta, Bandung, Papua dan sejumlah kota di Sumatera. Sementara, baru-baru ini bank sampah GWL memperoleh pesanan dari Inggris dan Swiss.
"Padahal kami tidak pernah promosi secara gencar, cukup mengandalkan media sosial saja, seperti Facebook, Twitter dan lainnya. Jadi setiap ada produk baru, maka kami 'upload' di media sosial. Bagi yang tertarik, langsung bisa menghubungi untuk memesan," ungkapnya.
Media lain untuk mengenalkan produk bank sampah ke masyarakat adalah melalui ajang pameran, yang diadakan setidaknya tiga kali dalam setahun. Melalui pameran, masyarakat bisa mengetahui bahwa bahan sampah pun, asalkan seseorang kreatif, dapat mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna dan bernilai.
Produk kerajinan dari bahan sampah, lanjut Riawati, sengaja dibuat dengan mengedepankan kualitas agar pemakainya tidak merasa malu di depan umum. Bentuk produk kerajinan pun mengikuti arah tren fesyen dan harganya cukup terjangkau.
Tempat pensil dijual dengan harga Rp20 ribu sampai Rp35 ribu. Macam-macam tas dibanderol harga mulai Rp50 ribu hingga Rp200 ribu. Sesekali ada pesanan "travel bag" yang harganya mencapai Rp700 ribu, dikarenakan banyak menggunakan bahan baku sampah plastik, waktu pengerjaan nisbi lama dan memiliki tingkat kerumitan tersendiri.
Riawati menegaskan, pada dasarnya berbagai kerajinan yang diproduksi nasabah bank bertujuan untuk mengurangi volume sampah. Sekaligus menunda plastik menjadi sampah, mengingat jika dibiarkan maka plastik baru bisa terurai setelah 500 tahun.
Hal lain yang menggembirakan, lanjutnya, mengubah sampah plastik menjadi kerajinan ternyata mampu membuat para wanita menjadi terampil dan kreatif dalam berkarya, serta memberikan kontribusi ekonomi untuk menunjang kehidupan.
Riawati mengharapkan, tingkat produksi kerajinan dari bahan sampah ini bisa ditingkatkan dan menjangkau konsumen lebih banyak lagi. Selama gerakan "go green" gencar digaungkan, maka produk-produk berbahan sampah tetap mendapat perhatian dari masyarakat dari kota-kota besar di Indonesia dan berbagai belahan dunia.
"Untuk melakukan pemesanan order, sama sekali tidak ada kendala. Kami sering mengirim pesanan produk kerajinan yang tergolong industri ekonomi kreatif ini, menggunakan jasa JNE. 'E-commerce' tak mengalami kendala dengan dukungan adanya jasa pengiriman barang," ucap dia.
Tulang punggung
Sementara itu, Agustus tahun lalu, Presiden RI Joko Widodo menyebutkan hendaknya ekonomi kreatif menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia pada masa-masa selanjutnya.
Ekonomi kreatif berbasis pada gagasan, ide dan kemampuan manusia, yang tidak mungkin ada habis-habiskan digarap sebagai objek usaha. Pertumbuhan ekonomi kreatif tahun 2013 mencapai 5,76 persen. Lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional 5,74 persen.
Menteri Perindustrian Saleh Husin menyebutkan, tahun 2015 hingga 2019, kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif ditargetkan mencapai 7-7,5 persen.
Syaratnya, pertumbuhan PDB industri kreatif minimal 5-6 persen. Di samping itu, tingkat partisipasi tenaga kerja industri kreatif pun ditarget mencapai 10,5 -11 persen dari total tenaga kerja nasional, dan peningkatan devisa negara mencapai 6,5 - 8 persen.
Seiring tingginya pertumbuhan e-commerce, perusahaan Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) pun berkontribusi secara maksimal yang diperkuat dengan kepemilikan jaringan pada 5.000 titik layananan di berbagai daerah di Indonesia.
Perusahaan JNE sepanjang tahun 2015 membuktikan telah mengalami pertumbuhan secara signifikan, dengan berusaha melakukan inovasi produk dan memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan.
"Setelah 25 tahun, JNE bertekad memberikan layanan yang terbaik pada pelanggan dan membuktikan sebagai jasa kurir terdepan," ujar Presiden Direktur JNE Mohamad Feriadi pada suatu kesempatan ulang tahun perusahaan.
JNE melakukan inovasi pengembangan pada bidang, antara lain, sumber daya manusia (SDM), infrastruktur, "network" serta "information technology" (IT). Sebagai langkah meningkatkan pelayanan konsumen, JNE merilis website perusahaan agar masyarakat lebih mudah mengakses informasi dan sarana berkomunikasi dua arah.
Feriadi melanjutkan, JNE akan memfokuskan pada tiga hal. Pertama, fokus pada "express business" yang sudah mendarah-daging sejak kelahiran JNE. Kedua, mengarah kepada "third party logistic", disebabkan semakin hari kian banyak perusahaan yang melakukan "outsourcing" bidang pekerjaan logistik kepada pihak ketiga. Dan ketiga, mengarah ke bisnis "freight".
"Ketiga fokus ini akan dioptimalkan pada era e-commerce ini. Realitanya saat ini e-commerce sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Banyak orang yang terlibat dalam bidang usaha e-commerce, sehingga menjadi peluang bagi banyak pihak, termasuk JNE," tutur Feriadi. (WDY)
Mengubah Sampah Jadi Produk Kreatif
Senin, 15 Februari 2016 12:30 WIB