Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah komponen masyarakat Bali tidak menyetujui beberapa butir isi Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini sedang dalam pembahasan oleh panitia khusus DPR.
Bendesa Pakraman (pimpinan adat) Kuta, Wayan Suarsa, dalam kunjungan kerja Pansus DPR RUU Larangan Minuman Beralkohol, di Denpasar, Senin mengemukakan jika isi RUU tersebut dipaksakan tanpa ada perubahan, dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak.
"Kami menghargai adanya niat DPR untuk mengendalikan perilaku masyarakat yang tidak benar akibat mengkonsumsi minuman beralkohol, tetapi harus dipahami kebhinekaan dan kearifan lokal yang ada," ucapnya.
Menurut dia, seharusnya yang diatur itu berapa kadar minuman berakohol yang diperbolehkan dan tidak boleh dikonsumsi masyarakat dan juga untuk racikan yang dibolehkan. "Jika sepenuhnya dilarang, tentu akan menimbulkan dampak luar biasa, apalagi Bali sebagai daerah pariwisata," ucapnya.
Suarsa mencontohkan kawasan Kuta, Kabupaten Badung, meskipun merupakan daerah wisata tidak sampai ada wisatawan yang terlihat mabuk di sepanjang pantai karena sudah ada pengaturan sedemikian rupa, ada pula satgas, ada "pecalang" atau petugas pengamanan adat, dan petugas lainnya.
"Intinya saya harap jangan hanya dilihat dari aspek negatifnya saja, minuman beralkohol dengan porsi tertentu juga dapat membangkitkan semangat bagi para seniman," katanya yang juga pengurus Majelis Alit Desa Pakrama Kuta itu.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Distributor Minuman Alkohol (ADMA)Bali Frendy Karmana berharap pansus tersebut dapat mengirimkan tim yang kajiannya lebih mendalam dengan menimbang aspek sosial dan budaya.
"Jangan tergesa-gesa melahirkan UU yang bersifat pelarangan secara pukul rata. Hak-hak sipil, dan kebhinekaan NKRI sangat penting menjadi pertimbangan dalam pembahasan RUU ini agar di kemudian hari menjadi pedoman yang memberi kejelasan dan kepastian hukum bagi kita semua," katanya.
Sedangkan Pimpinan Rombongan Kunjungan Kerja Pansus DPR terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol I Gusti Agung Rai Wirajaya mengatakan proses pembahasan RUU tersebut masih panjang dan ditargetkan dapat diketok palu pada Juni 2016.
"Memang masih banyak hal-hal yang harus diperbaiki terhadap RUU ini. Ini belum harga mati, yang jelas kedepannya agar RUU ini diharapkan bisa menjembatani menuju yang terbaik untuk semua," ucapnya.
Untuk mencari masukan, pihaknya berencana akan pergi ke enam provinsi di Tanah Air. Selain Bali, pihaknya sudah mengunjungi Aceh dan Sumatera Utara.
"Undang-undang ini dibutuhkan karena selama ini baru ada Peraturan Presiden saja dan di daerah-daerah sudah ada perda sedangkan naungan atasnya belum ada, sehingga kami berinisiatif membuat RUU ini," kata Wirajaya.
Beberapa tokoh lainnya seperti perwakilan Polda Bali, PHRI Bali, Kadin Bali, dan Bea Cukai Bali juga tidak menyetujui penggunaan nama RUU tersebut. (WDY)