Denpasar (Antara Bali) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali menilai pembangunan "city hotel" atau hotel berbiaya murah yang biasanya dibangun di kawasan perkotaan, saat ini salah sasaran karena banyak dibangun di kawasan elite.
"Persoalannya `city hotel` dibiarkan tumbuh di daerah elite. Jadi tumbuh persaingan, kita salah `market`. Mereka (city hotel) mengambil pasar hotel bintang lima," kata Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Selasa.
Mantan Bupati Gianyar itu menyatakan kini sudah banyak berdiri "city hotel" tersebut di kawasan elite seperti di Nusa Dua sehingga pada akhirnya menimbulkan persaingan tidak sehat.
"Jadi sekarang tidak ada gengsi lagi orang tinggal (menginap) di Nusa Dua ketika ada hotel kecil," ucap figur yang kerap disapa Cok Ace itu.
Sejatinya moratorium hotel telah menjadi isu lama yang mengemuka di kalangan pemangku kebijakan serta pelaku pariwisata di Bali.
Namun kenyataan di lapangan pembangunan hotel baik berbintang maupun hotel kecil kelas "city hotel" malah tumbuh subur terutama di kawasan Bali bagian selatan.
Cok Ace lebih lanjut menjelaskan bahwa Bali Selatan saat ini sudah kelebihan kapasitas kamar hotel.
Saat ini, di kawasan Bali selatan khususnya di Kabupaten Badung terdapat setidaknya sekitar 90 ribu kamar atau sekitar 60 persen dari total keseluruhan kamar hotel di Pulau Dewata yang mencapai sekitar 130 ribu.
Di sisi lain, Cok Ace menambahkan bahwa kewenangan untuk melakukan klasifikasi hotel juga kini telah hilang dari PHRI karena kini sudah berpindah ke tangan Lembaga Sertifikasi Umum (LSU).
"Dulu kuncinya diklasifikasi hotel, sekarang sudah tidak ada. Mudah-mudahan ada `tool` (alat) bagaimana caranya agar asosiasi ini tidak hanya sekadar nama, tetapi justru memberikan pelayanan kepada anggota," ucapnya.