Denpasar (Antara Bali) - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali mengimbau lembaga penyiaran di daerah itu agar turut terlibat dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan narkotika.
"Siaran dari lembaga penyiaran memiliki kekuatan untuk mengubah dan memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat, ini harus dimanfaatkan dalam upaya penanggulangan bahaya narkotika. Lembaga penyiaran harusnya mampu mengedukasi masyarakat," kata anggota KPID Bali I Nengah Muliarta dalam diskusi dengan lembaga penyiaran terkait upaya penanggulangan bahaya narkotika, di Denpasar, Rabu.
Menurut Muliarta, pendidikan akan bahaya narkoba kepada masyarakat dapat dilakukan oleh lembaga penyiaran melalui program pemberitaan, imbauan atau dalam bentuk iklan layanan masyarakat.
"Sebagai media lembaga penyiaran pada dasarnya tidak hanya memberikan hiburan pada masyarakat tetapi juga memberikan pendidikan dan informasi serta melakukan kontrol sosial," ujarnya.
Walaupun bentuk format siaran adalah hiburan, ucap dia, tetap saja siaran hiburan tersebut harus memberikan pendidikan. Begitu juga pesan terkait bahaya narkotika serta cara penanggulanganya dapat disampaikan dalam kemasan hiburan.
Muliarta mengemukakan, bentuk edukasi yang cukup lumrah melalui lembaga penyiaran selama ini adalah bentuk iklan layanan masyarakat. Namun sayangat disayangkan iklan layanan masyarakat sangat minim, apalagi yang terkait dengan penanggulangan bahaya narkotika.
"Penayangan iklan layanan masyarakat (ILM) menjadi wajib karena penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan perekat sosial. Sedangkan ILM menjadi salah satu aplikasi dari fungsi-fungsi penyiaran tersebut," katanya.
Selain itu, dalam pasal 46 ayat 7 Undang-undang Penyiaran juga menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat. Persentase dari waktu siaran iklan layanan masyarakat juga telah diatur dengan tegas.
"Pada ayat 9 disebutkan waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklannya," jelas Muliarta.
Namun, berdasarkan hasi survei KPID Bali selama Juni-Agustus 2014 terhadap 15 radio menunjukkan hanya 5 radio yang memproduksi ILM sendiri. Sedangkan radio lainnya menayangkan ILM milik lembaga atau instansi lain.
"Kondisi ini berarti hanya lima radio yang memiliki kesadaran akan hak publik untuk mendapatkan informasi dan pendidikan melalui ILM. Hanya lima radio yang memiliki rasa tanggungjawab terhadap penggunaan frekuensi milik publik dan rasa penghormatan terhadap ruang publik. Hanya lima radio juga yang tahu akan kewajiban kepada publik," ujarnya.
Muliarta menambahkan, kasus yang sama juga terjadi pada lembaga penyiaran televisi. Buktinya dari 20 stasiun televisi yang bersiaran di Bali, mungkin hanya empat televisi yang menayangkan ILM.
"Jika ditelusuri lebih jauh, ada beberapa alasan klasik dari lembaga penyiaran yang tidak memproduksi dan menayangkan ILM. Alasan klasik pertama adalah tidak memiliki studio produksi. Kedua tidak memiliki dana produksi, ketiga adalah tidak memiliki tim kreatif untuk produksi ILM dan sebagainya," katanya.
Dia berpandangan, alasan-alasan tersebut seharusnya tidak muncul jika terdapat rasa tanggungjawab dan mengetahui kewajiban dari penggunaan frekuensi yang merupakan milik publik.
Sementara itu, Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali Brigjen Pol I Putu Gede Suastawan mengatakan jika dilakukan survei hampir 75 persen masyarakat Bali mendengarkan radio. Namun sangat disayangkan, lembaga penyiaran radio yang memberitakan narkotika sangat minim.
"Padahal masyarakat sangat percaya pada informasi dari lembaga penyiaran, terutama radio. Selain itu daya pancar radio cukup luas. Kami sangat berharap peran serta lembaga penyiaran untuk terlibat dalam memperluas informasi," ujar Suastawan.
Suastawan memaparkan berdasarkan hasil penelitian tahun 2014 menunjukkan tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali mencapai 2,22 persen atau sekitar 66.785 dan narkotika yang paling banyak digunakan adalah jenis sabu-sabu.
"Upaya penanggulangan harus melibatkan berbagai komponen, termasuk lembaga penyiaran. Lembaga penyiaran memiliki kekuatan untuk melakukan penyadaran pada masyarakat bahwa narkotika membawa dampak negatif. Lembaga penyiaran juga memiliki kemampuan untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa korban narkotika tidak lagi dipenjara tetapi di rehabilitasi," katanya.
Selain itu lembaga penyiaran memiliki peran dalam upaya menumbuhkan kepedulian masyarakat untuk menjadi penggerak dan terlibat dalam penanggulangan bahaya narkotika. (WDY)