Denpasar (Antara Bali) - Pedagang valuta asing di Bali sangat rentan menjadi incaran tindak pencucian uang, sehingga jika ada transaksi mata uang asing sedikitnya 100 juta, wajib dilaporkan kepada pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK).
Sekretaris Asosiasi Pedagang Valuta Asing Bali, Ngurah Ambara Putra di Denpasar, Minggu mengatakan, tindak pidana pencucian uang di daerah ini kian meresahkan dan mengancam eksistensi pariwisata.
Selain itu juga menimbulkan persoalan sosial kemasyarakatan yang perlu mendapat perhatian dan penanganan dari semua pihak.
Bank Indonesia menyatakan akan mengawasi transaksi di pedagang valuta asing bukan bank. Bank Indonesia telah melarang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank untuk melakukan tranfser dana guna menghindari tindak pidana pencucian uang.
Larangan itu tertuang dalam kebijakan yang diatur dalam ketentuan peraturan Bank Indonesia tentang kegiatan usaha penukaran valuta asing bukan bank.
Ngurah Ambara Putra menambahkan jumlah kegiatan usaha pedagang valuta asing yang mengantongi izin Bali dan Nusra mencapai 122 unit.
Usaha itu paling banyak di Kabupaten Badung khususnya di kawasan pariwisata.
Sementara berdasarkan data perkembangan industri bank Indonesia pusat, jumlah kegiatan usaha pedagang valuta asing bukan bank berizin mengalami peningkatan, yakni 916 kantor pusat di seluruh indonesia.
Sebaran industri total seluruh Indonesia 916 pedagang valuta asing, bukan bank berizin yang terbagi 14 persen di kota Denpasar atau 128 pedagang valuta asing, 38 persen Jakarta atau 346 pedagang valuta asing, 13 persen di Batam atau 122 pedagang valuta asing, lima persen di Medan atau 49 pedagang valuta asing.
Selain itu juga tercatat di Pontianak sebanyak 37 pedagang atau empat persen. (WDY)
Pedagang Valuta Asing Rentan Tindak Pencucian Uang
Minggu, 26 Oktober 2014 16:36 WIB