Jakarta (Antara Bali) - Wakil Menteri Pertanian (Wamentan) Rusman Heriawan
menilai saat ini sudah tidak relevan lagi berbicara mengenai swasembada,
terutama untuk komoditas beras, tetapi saatnya memfokuskan pada
kualitas untuk pemerintahan ke depannya.
"Sebenarnya bicara
swasembada atau tidak sudah tidak relevan karena kita tidak perlu impor
untuk beras. Kalaupun ada impor itu beras-beras khusus bukan prioritas,"
kata Rusman pada ajang Kemilau Daya Saing Produk Pertanian memperingati
Bulan Mutu Pertanian 2014 "Pemenuhan Standar Produk Pertanian
Memenangkan Pasar Bebas ASEAN" di Jakarta, Kamis.
Rusman
mencontohkan, beras yang masih diimpor, yakni beras ketan, beras menir,
beras Thailand, beras Jepang (Japonica) dan beras untuk diet.
Dia mengakui selama lima, bahkan 10 tahun ke belakang, pemerintah terlalu berfokus pada pemenuhan volume, bukan pada kualitas.
"Kami
di Kementan, merasa momentum ini agak terlambat, yakni berfokus
bagaimana memenuhi kuantitas atau volume, bagaimana swasembada, kita
tidak peduli caranya yang mungkin kurang menerapkan `good agriculture
practices`," katanya.
Rusman mengatakan hipotesis produktivitas dan kualitas itu paralel, bukan bertolak belakang.
"Hipotesis
ini yang salah, kalau kita mau mengembangkan kualitas, harus mengurangi
produktivitasnya, kalau mau mutu yang dikedepankan, produktivitasnya
harus dikurangi," katanya.
Dia mengimbau ke depannya agar pola pikir petani dan pengusaha berfokus pada kualitas, namun tidak mengabaikan produktivitas.
"Swasembada
harus `standing` (dipertahankan), untuk beras yang sudah melewati level
itu, mari kita melangkah lebih jauh ke standar pemenuhan kualitas,
hingga ke tingkat ke penerimaan di masyarakat," katanya.
Menurut
Rusman, kualitas merupakan tolok ukur daya saing sebuah produk, jika
tidak memenuhi standar, maka tidak akan bisa bersaing.
"Dulu mutu
itu belakangan, tetapi saat ini lahan semakin sempit, kesadaran ini
munculnya belakangan. Jika kita tidak bisa memenuhi standar, tidak bisa
bersaing apalagi dengan produk luar," katanya.
Untuk itu, dia
mengatakan untuk pemenuhan volume lebih kepada pemerintah dan petani,
tetapi untuk pemenuhan kualitas, seperti beras organik, lebih kepada
pemerintah dan pengusaha yang berhubungan langsung dengan konsumen dan
membaca seleranya.
Selain itu, Rusman mengatakan diperlukan standardisasi untuk menjamin kualitas terbaik dari suatu produk.
Melalui
Badan Standardidasi Nasional, lanjut dia, seharusnya berpartisipasi
aktif terjun ke lapangan untuk memastikan produk-produk yang perlu
dilabeli memenuhi standar.
"Jangan ke lapangan hanya ketika diminta saja, lebih proaktif di hulunya bukan di hilirnya," katanya.
Dalam
kesempatan sama, Kepala BSN Bambang Prasetnya mengatakan pihaknya akan
melakukan pembinaan bagi usaha mikro kecil menengah (UMKM) dan akan
memberikan fasilitas dalam standardisasi produk.
"Nanti 2015 awal
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), kita akan melakukan pendampingan kepada
sejumlah UMKM yang tidak mampu," katanya.
Bahkan, lanjut dia,
pihaknya sedang berupaya untuk menggratiskan standardisasi bagi produk
UMKM sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2014 Tentang Standardisasi dan
Penilaian Kesesuaian.
Bambang menambahkan setelah dirancang PP
dari UU tersebut, akan dibuat mekanisme syarat-syarat bagi UMKM tersebut
untuk mendapatkan fasilitas pelabelan gratis.
Pasalnya, biaya untuk pelabelan standar suatu produk dari Rp10-Rp25 juta.
"Nanti kita atur apakah bisa dimasukan untuk satu klaster untuk beberapa produk, jadinya efisien," katanya.
Dengan
adanya pelabelan standar mutu, lanjut dia, produk tersebut bisa
diterima di negara-negara, terutama Asia untuk siap bersaing di MEA
2015.
"Saya optimistis dengan produk-produk kita yang bagus dan
kita punya 1.200 lembaga pelabelan standar di Indonesia, kita siap
bersaing di MEA," katanya. (WDY)
Wamentan: Sudah Tidak Relevan Bicara Swasembada
Kamis, 9 Oktober 2014 16:43 WIB
Sebenarnya bicara swasembada atau tidak sudah tidak relevan karena kita tidak perlu impor untuk beras...."