Denpasar (Antara Bali) - Jumlah Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali sebanyak 1.471 unit, kata Asisten I Sekretaris Daerah Provinsi Bali I Gusti Made Sunendra.
"Dari jumlah LPD tersebut di antaranya hanya 10 persen tidak sehat. Kondisi ini akibat belum adanya pemahaman yang kuat para pengelola LPD," katanya di Denpasar, Senin (9/8).
Ia mengatakan, beberapa kasus yang muncul pihak desa pekraman atau desa adat hanya menerima laporan di atas meja, tanpa mengetahui secara lengkap persoalan-persoalan yang ada di lembaga keuangan desa tersebut.
"Peran Pembina LPD harus lebih serius, jangan hanya sebatas permukaan saja membinanya. Kami harap pembina harus berkesinambungan," ucapnya.
Jika hal itu dapat dilakukan oleh pembina LPD, tentu dapat menekan jumlah LPD yang mengalami "sakit" di Bali.
"Secara logika tidak ada LPD yang sakit maupun sekarat, karena sesuai sistem yang dianut LPD hanya boleh dimanfaatkan warga desa setempat. Krama atau warga ini diikat oleh aturan adat (awig-awig desa) yang kuat, sehingga lebih ditakuti ketimbang sanksi penjara," ujarnya.
Pesatnya perkembangan LPD, diakui Sunendra menimbulkan persoalan-persoalan dalam pelaksanaannya di desa adat di Pulau Dewata.
Contohnya, adanya perebutan pengelolaan LPD, upaya bagaimana mengkerdilkan LPD, bahkan keinginan untuk menjadikan LPD sebagai Bank Perkrediatan Rakyat (BPR).
"LPD sekarang ibarat gadis cantik yang diperebutkan banyak pihak. Terlebih LPD yang sudah maju pesat dengan modal sampai puluhan miliar akan menjadi incaran banyak orang," katanya.
Dikatakan, pengurus LPD dan pihak desa adat sebagai pemilik LPD ke depan, diharapkan lebih teliti dan menjalankan aturan maupun prosedur-prosedur dalam mengawasi LPD.
"Persaingan dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya juga menjadi tantangan LPD ke depan," kata Sunendra.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof Dr I Gusti Ngurah Wairocana SH menyatakan, banyak pihak terutama lembaga keuangan formal yang mengintervensi keberadaan LPD dengan tuntutan LPD harus mentaati ketentuan-ketentuan perbankan.
"Ada keinginan dari pihak-pihak tertentu, seperti Bank Indonesia untuk mengatur LPD sama dengan lembaga keuangan formal. Padahal secara filosofi LPD dibentuk untuk membantu masyarakat desa adat guna mempertahankan kehidupan, karena ada ketimpangan pembebanan," ucapnya.
Keberadaan LPD, ditegaskan Wairocana, harus mendapat perlakuan khusus berbeda dengan lembaga keuangan yang lainnya. Karena LPD membantu masyarakat pedesaan yang sulit untuk mendapat dana dari lembaga keuangan formal.
"Hal itu yang perlu dimergerti oleh para pengambil kebijakan yang ingin mensejajarkan atau mengalihkan status LPD menjadi lembaga keuangan formal," katanya.
Untuk itu, lanjut dia, harus ada kejelasan kalau LPD adalah masyarakat hukum adat yang punya, apapun bentuk intervensi harus dipertanyakan.
"Apalagi hal-hal yang menyangkut prisip yang bertentangan dengan filosofi LPD," ujar Wairocana.(*)
10 Persen LPD di Bali tidak Sehat
Selasa, 10 Agustus 2010 9:06 WIB