Kawasan semenanjung Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali pada 1970-an kondisinya sangat kritis dan tandus, yang kemudian secara bertahap digarap hingga akhirnya berhasil menjadi kawasan pengembangan pariwisata bergengsi.
Lahan seluas 326 hektare itu, ditata dengan landasan konsep "Tri Hita Karana" yakni hubungan harmonis dan serasi sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Kawasan hijau yang tertata apik dan rapi dengan puluhan hotel berbintang, sejumlah lapangan golf serta fasilitas pendukung yang memadai itu telah mendekati sasaran Bali sebagai provinsi yang bersih dan hijau (Bali Green Province).
Pemerintah Provinsi Bali bertekad menjadikan Bali sebagai Pulau Bersih dan Hijau (Bali Clean and Green) melalui Gerakan Penghijauan dan Kebersihan Lingkungan (GPKL), itulah menjadi salah penekanan untuk dapat diwujudkan dalam lingkungan masing-masing, tutur Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH ) Provinsi Bali, Ir I Nyoman Sujaya M, Sabtu.
Oleh sebab itu serangkaian peringatan HUT ke-56 Pemprov Bali dan HUT ke-69 Kemerdekaan RI telah digelar GPKL di kawasan suci Pura Pucak Padangdawa, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Dalam kegiatan yang digelar pada Jumat (22/8) itu telah ditanam 1.500 pohon tanaman langka yang umumnya untuk keperluan ritual dengan melibatkan berbagai pihak, antara lain UPT Balai Pembibitan Tanaman Hutan (BPTH), BPD Bali, PT Indonesia Power, PT. Tirta Investama Aqua Mambal, PT. Karya Tangan Indah, dan pihak swasta lainnya.
Selain itu juga diserahkan gerobak dan tong sampah sesuai permintaan "pangemong" pura Sadkahyangan itu.
Gerakan penghijauan yang akan dilaksanakan secara berkesinambungan di berbagai lokasi lainnya di Bali itu bertujuan menyelamatkan keanekaragaman hayati tanaman endemis khas Bali untuk menunjang penyediaan bahan upakara dalam ritual Agama Hindu.
Hal lain yang tidak kalah penting melestarikan sumberdaya air, memulihkan dan menanggulangi kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup di Pulau Dewata. Untuk itu kesadaran masyarakat untuk meningkatkan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan masing-masing sesuai penekanan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Gubernur dalam setiap kesempatan mengharapkan seluruh lapisan masyarakat membiasakan hidup bersih, serta mengolah sampah, khususnya sampah plastik menjadi produk yang bernilai ekonomis.
"Sampah dan limbah lainnya dapat diolah menjadi pupuk ramah lingkungan, sehingga mampu mewujudkan Bali yang bersih dan hijau, " ujarnya.
Ia menilai peranserta dan kesadaran masyarakat sangat penting dan menentukan dalam mewujudkan Bali menjadi bersih dan hijau.
Bangun kesadaran
Ketua Program Studi Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Dr I Ketut Sumadi menilai, leluhur orang Bali telah berhasil membangun kesadaran untuk melestarikan lingkungan seperti yang terungkap dalam salah satu kitab suci Agama Hindu Kekawin Nitisastra.
Memelihara kelestarian lingkungan bagi leluhur orang Bali merupakan kewajiban suci sebagai pengamalan nilai ajaran agama. Perilaku bersahabat dengan alam, hidup nyaman dalam lingkungan yang bersih serta hijau diaplikasikan dalam pelaksanaan ritual Tumpek Bubuh (Tumpek Pengarah) yang jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga, setiap enam bulan (210 hari) sekali.
Dengan demikian upaya mewujudkan Bali yang bersih dan hijau itu didukung konsep kategorisasi hutan yang selama ini dimiliki dan diterapkan masyarakat Bali dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Konsep yang menyangkut berbagai hal itu antara lain "Sriwana", yakni kawasan hutan yang harmonis dengan daerah pemukiman, sekaligus mengatur tentang kawasan hutan yang harmonis dengan tempat suci (Tapawana) dan kawasan hutan yang harus dijaga kesuciannya sehingga tidak diganggu oleh mereka yang tidak bertanggungjawab (Mahawana ).
Upaya tersebut disertai dengan melakukan penghijauan dan penanaman pohon, serta meningkatkan kesadaran dan prilaku masyarakat setempat tentang hidup bersih dan mewujudkan lingkungan sekitar masing-masing menjadi hijau.
Perilaku hidup bersih itu mulai dari membuang sampah pada tempatnya, memisahkan sampah organik dengan non organik, mengurangi penggunaan plastik dan melakukan pendaurulangan sampah sebagai sumber energi yang berkelanjutan.
Upaya sosialisasi itu perlu dilakukan secara terus menerus ke masyarakat serta penyuluhan kepada anak-anak pelajar, sebagai upaya mempercepat terealisasinya Bali Green Province.
Pupuk ramah lingkungan
Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana menilai, masyarakat Bali dalam sistem bercocok tanam, baik di ladang maupun sawah memiliki pembagian waktu yang disebut "Kertamasa".
Pembagian waktu itu didasarkan atas perhitungkan posisi bintang, bulan, dan matahari, sehingga masyarakat tani di Pulau Dewata memiliki bulan-bulan yang cocok atau tidak untuk menanam padi maupun tanaman palawija.
Kondisi demikian hendaknya dapat dimanfaatkan untuk menyukseskan "Bali Green Province" dengan mengarahkan petani untuk memanfaatkan pupuk ramah lingkungan, yang diproduksi petani setempat, sekaligus menghindari sedini mungkin penggunaan pupuk produksi pabrik maupun obat pembasmi hama yang mengandung zat kimia.
Untuk itu terobosan yang dilakukan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dengan menguatkan identitas Bali sebagai provinsi organik dinilai sangat tepat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan Pulau Dewata.
Hal itu secara tidak langsung bertujuan untuk melestarikan dan melindungi alam lingkungan Pulau Dewata. Pertanian organik dan industri organik merupakan upaya nyata ke arah terwujudnya Bali menjadi provinsi bersih dan hijau.
Pertanian dengan sistem organik sangat cocok dikembangkan di Pulau Dewata, selain dilandasi Bali cukup dikenal dunia internasional, sebagai darah tujuan wisata, banyak turis, terutama dari negara-negara di kawasan Eropa datang ke Bali untuk menikmati hidup.
Dengan pertanian organik wisatawan akan mendapat banyak keuntungan. Mereka bisa mendapatkan makanan, minuman serta lingkungan yang sehat, di samping mengangkat kehidupan masyarakat setempat ke arah yang lebih baik, tutur Jero Ketut Sumadi.
Namun di Bali sasaran yang ingin dicapai Bali itu menghadapi berbagai masalah lingkungan hidup yang cukup rumit, sebagai dampak negatif dari perkembangan pariwisata yang cukup pesat dalam beberapa tahun belakangan ini.
Demikian pula banyak objek wisata yang dikembangkan mencaplok lahan pertanian produktif, puluhan bahkan ratusan hektare dan menggusur atau mengganggu keberadaan tempat-tempat suci (Parahyangan) yang terdapat di lahan tersebut.
Selain itu juga mencaplok kawasan pantai, kemudian menutup fungsi pantai sebagai tempat suci bagi orang Bali dalam prosesi upacara Melasti, upacara menyucikan alam semesta dan menyucikan diri sendiri menjelang hari Suci Nyepi, tahun baru saka.
Keharmonisan hubungan manusia Bali dengan Tuhan Yang Maha Suci kini mulai terganggu, sehingga secara langsung berpengaruh buruk kepada sikap dan prilaku masyarakat setempat terhadap lingkungan dan sesamanya.
Fenomena yang muncul antara lain terjadinya kontradiksi antara tuntunan religius atau kearifan lokal warisan leluhur dengan hasrat hedonis pariwisata, tutur Ketut Sumadi. (WDY)
Bersih Hijau Menuju Pariwisata Bali Berkelanjutan
Sabtu, 23 Agustus 2014 19:14 WIB