Denpasar (Antara Bali) - Industri manufaktur besar dan sedang (IBS) di Bali pada triwulan kedua 2014 tumbuh sebesar 4,15 persen, atau lebih tinggi daripada angka nasional yang tercatat 2,34 persen.
"Jika dibandingkan pada triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 3,26 persen, mengalami peningkatkan sebesar 0,89 persen," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali Panusunan Siregar di Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, kebijakan pengembangan industri manufaktur perlu lebih diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mengantisipasi perubahan lingkungan yang cepat.
Persaingan di pasaran ekspor menjadi suatu perspektif baru bagi semua negara sehingga fokus dan strategis pembangunan industri pada masa depan adalah untuk membangun daya saing.
Oleh sebab itu, dia memandang perlu upaya dan terobosan pengembangan industri manufaktur yang berkelanjutan dan mampu menghasilkan produk yang bermutu sehingga mampu bersaing di pasaran luar negeri.
Panasunan Siregar menambahkan bahwa pengembangan IBS di Bali lebih dipengaruhi oleh kondisi naiknya biaya komponen input seperti bahan baku yang menjadi persoalan tersendiri bagi perajin dan usaha yang bergerak dalam kegiatan tersebut yang berorientasi pasar ekspor.
Hal itu, menurut dia, sangat dirasakan oleh perusahaan IBS yang bergerak dalam usaha industri minuman dan tekstil. Kedua jenis usaha industri tersebut mengalami kontraksi masing-masing minus 8,63 persen dan 4,38 persen.
Selain itu, adanya momentum penyesuaian harga yang dilakukan oleh pelaku usaha IBS yang disertai dengan peningkatan ongkos produksi sebagai dampak penyesuaian beberapa harga komoditas penting dan strategis.
"Misalnya, LPG dan kenaikan upah minimum provinsi serta kenaikan tarif dasar listrik (TDL) menjadi bagian pendorong bagi pelaku usaha IBS untuk melakukan penyesuaian harga pada level yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata normalnya," ujar Panasunan Siregar. (WDY)