Depok (Antara Bali) - Pasangan Prabowo-Hatta telah melayangkan
gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menyatakan bahwa penetapan
rekapitulasi hasil penghitungan suara Pilpres 2014 tidak sah menurut
hukum. Sidang perdana gugatan tersebut sudah digelar pada 6 Agustus
lalu.
Prabowo menilai lawannya memeroleh suara melalui cara-cara
melawan hukum atau setidaknya disertai tindakan penyalahgunaan
kewenangan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Oleh karena itu Prabowo-Hatta meminta MK menyatakan batal dan
tidak sah keputusan KPU Nomor 535/Kpts/KPU/2014 tentang Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Hasil Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden 2014.
Prabowo-Hatta kemudian meminta MK menyatakan perolehan suara yang
benar adalah yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan
Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan
66.435.124 suara.
Selain itu, Prabowo-Hatta juga menduga KPU beserta jajarannya
melanggar peraturan perundang-undangan terkait pilpres, di antaranya, UU
Nomor 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden; UU Nomor
15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan KPU Nomor 5, Nomor 18,
Nomor 19, dan Nomor 20; serta Peraturan KPU Nomor 21/2014 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Serta
Penetapan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Tim Kuasa Hukum Prabowo-Hatta juga mendalilkan bahwa Pilpres 2014
cacat hukum karena berbagai alasan. Salah satunya adalah perbedaan
jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi
KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014.
Tim itu juga merasa berhak mengajukan gugatan hasil Pilpres 2014
ke MK. Pernyataan Prabowo yang menarik diri dari tahapan pilpres
dianggap tak mengurangi kedudukan hukum untuk melayangkan gugatan
tersebut.
Menurut Kuasa Hukum Prabowo-Hatta, Maqdir Ismail, Prabowo
menyatakan penarikan diri hanya pada satu tahapan pilpres, yakni proses
rekapitulasi perolehan suara. Gugatan tetap dilayangkan karena Prabowo
tak menarik diri dari tahapan lain dalam pilpres sampai tiba proses
pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
"Ini yang mereka lupa, bahwa proses dan tahapan itu sampai dengan
pelantikan. Prabowo hanya menarik diri dari satu tahap karena ada
proses yang tidak benar," kata Maqdir. Pernyataan Kuasa Hukum Joko
Widodo-Jusuf Kalla tentang tak adanya kedudukan hukum (legal standing)
Prabowo untuk menggugat ke MK sangat keliru.
Dia berpendapat, Pilpres 2014 dianggap tidak sah jika
Prabowo-Hatta mengundurkan diri sebagai kandidat. "Kalau mereka
menganggap seperti itu, berarti merekalah yang membuat pilpres tidak
sah."
Terkait gugatan tersebut, pengamat politik LIPI Siti Zuhro
menilai, secara hukum gugatan hasil pilpres ke MK adalah langkah positif
untuk meredam ketidakpuasan atas hasil yang diumumkan KPU.
"Kalau rasa tak puas itu tidak dituntaskan sekarang maka akan
jadi tragedi. Sama seperti Pilpres 2009, akan dapat menyebabkan mosi
tidak percaya yang terpendam pada peserta pemilu dan ini tidak boleh
terulang kembali," ujarnya.
Kecurigaan terhadap pilpres menurut dia, harus diselesaikan agar
hasil tersebut benar-benar sah di mata hukum atau memiliki legitimasi.
"Namanya kompetisi pemilu benar-benar substansi. Harus dibenahi lewat
hukum dan bukti-bukti."
Oleh karena itu dia berharap agar pendukung calon pesiden dapat
menerima apapun hasil dari sidang gugatan di MK tersebut. Sebab, yang
terpenting dari adanya proses hukum ini adalah kejelasan bagi
masyarakat.
"Apapun hasilnya, kedua belah pihak harus bisa menerimanya. Bila
ada bukti hukum maka keduanya harus menerima. Sedangkan untuk
pendukungnya tidak boleh murka jika calon yang diusung kalah, baik untuk
pendukung Jokowi maupun pendukung Prabowo," katanya.
Senada dengan pengamat LIPI, Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Indonesia (BEM UI) menilai gugatan yang dilayangkan pasangan
Prabowo-Hatta Rajasa ke MK terkait sengketa Pilpres 2014, merupakan
sesuatu yang wajar dan hak konstitusi semua warga negara.
"Apa yang sedang berlangsung saat ini di MK juga merupakan
tindakan yang mengedepankan semangat keadilan," ujar Ketua BEM UI, M
Ivan Riansa, sambil meminta masyarakat untuk tidak mempermasalahkan
proses gugatan hasil Pilpres 2014 tersebut.
"Kami juga menyerukan kepada kedua kubu agar tetap menghormati
proses hokum yang berlaku," katanya. Walapun KPU telah menyatakan Joko
Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilpres 2014 dengan perolehan suara
53,15 persen, namun hasil Pilpres 2014 belum final. Prosesnya masih
berlanjut pasca penetapan, yaitu penyelesaian sengketa hasil pemilu oleh
MK.
Sulit Mengulang Pilpres
Pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra memprediksi, kecil
kemungkinan MK untuk memerintahkan pemilihan presiden ulang, setelah
capres Prabowo Subianto menyatakan terjadi berbagai kecurangan yang
massif dan terstruktur.
Alasan dia, meski amar putusan MK kadang memerintahkan pilkada
ulang, namun tidak di seluruh daerah, yakni hanya di daerah-daerah
tertentu saja yang terindikasi terjadinya kecurangan. Tidak ada pilkada
ulang di seluruh tempat. Oleh sebab itu pilpres ulang kecil sekali
(kemungkinannya-red).
Menurut Yusril, kalaupun MK memerintahkan pemungutan suara
ulang, hal itu hanya di beberapa daerah saja, itupun berdasarkan
kalkulasi jika pasangan calon presiden dan wakil presiden yang merasa
dirugikan bisa menang dengan jumlah suara di daerah tersebut.
"Biasanya dalam pilkada akan tergantung dalil kita, daerah
ini-daerah itu ada kecurangan. Lantas hakim biasanya bertanya, jika
pilkada diulang di tempat itu, Anda bisa menang enggak? Jika jawabannya
tidak, hakim juga tidak mau memerintahkan ulang. Tapi kalau yakin bisa
menang, ada kemungkinan hakim mengabulkan pemilihan ulang setelah
melihat fakta-fakta di persidangan," kata Yusril.
"Saya dengar sekarang ada kekurangan 8 juta suara. Bisa
dimenangkan tidak 8 juta suara itu. Untuk membuktikan adanya kekurangan
8 juta suara itu, penggugat harus membuktikannya di MK. Itu masalah
yang sulit, seperti halnya membuktikan kecurangan pada pileg lalu," ujar
Yusril yang mengaku netral - tidak memihak pasangan Prabowo-Hatta atau
Jokowi-JK.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu menunjuk sengketa pada pemilihan
anggota DPR dan DPD yang dialaminya. Meski disadarinya ada kecurangan
tetapi sulit membuktikannya, sehingga dia tidak mau mengajukan gugatan
ke MK. "Beda dengan pembuktian kecurangan dalam pilkada, relatif lebih
mudah."
Sementara itu ahli hukum tata negara, Refly Harun berpendapat,
berbagai kesalahan dalam berkas gugatan Prabowo-Hatta memperkecil
peluang pasangan tersebut untuk memenangi tuntutan mereka di MK.
Menurut dia, tudingan kecurangan terstruktur, sistematis, dan
massif tak muncul dalam sidang perdana. "Mobilisasi yang mereka
ungkapkan tak jelas," kata Refly sambil menambahkan bahwa dia tidak
yakin Prabowo bisa membuktikan tudingannya dalam sidang lanjutan gugatan
tersebut.
Dalam sidang perdana, semua hakim konstitusi memberi masukan pada
berkas permohonan tim Prabowo-Hatta. Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan
Zoelva menilai tak ada sinkronisasi antara tuntutan pokok (petitum) dan
uraian (posita) dalam berkas permohonan. "Kami menemukan dalam bagian
posita begitu meluas tapi petitumnya tak mencakup semua.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra juga
sependapat bahwa dalil gugatan tim Prabowo sulit dibuktikan. Misalnya,
bagaimana Prabowo bisa membuktikan pilihan pribadi para pemilih di bilik
suara.
Namun demikian, anggota tim kuasa hukum Prabowo-Hatta,
Habiburokhman, optimistis bisa menang. "Terlalu prematur menyebutkan
peluangnya. Tahapan sidang masih panjang."
Seperti kata Ketua MK, Hamdan Zoelva proses persidangan di MK
berdasarkan proses hukum yaitu pembuktian pihak-pihak dari pemohon,
termohon dan pihak terkait. Sementara, untuk penilaian, MK akan melihat
berdasarkan bukti yang diajukan para pihak.
"Putusan MK berdasarkan satu mekanisme yang diatur konstitusi
bersifat final," ujarnya. "Kami akan mengadili dengan sejujurnya,
transparan dan terbuka agar masyarakat bisa melihat sendiri hasilnya."
(WDY)
Gugatan Prabowo-Hatta ke MK untuk Redam Kecurigaan
Minggu, 10 Agustus 2014 11:28 WIB