Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah pertanian dari Universitas Udayana Prof. Dr Wayan Windia menilai hilangnya tradisi "kertamasa", yakni penanaman padi secara serempak dalam kawasan subak di Bali menyebabkan lunturnya kebersamaan petani.
"Hilangnya rasa kebersamaan itu ada dalam mengelola irigasi dan usaha tani padi," kata Prof Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, meskipun rasa kebersamaan para petani dalam wadah subak itu mulai luntur, namun hingga kini masih diikat oleh kebersamaan terhadap satu sumber air irigasi dan pura subak (spiritual).
Dengan demikian keberadaan subak yang kini telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Dunia (WBD) tetap eksis.
Windia menambahkan, hilangnya tradisi kertamasa mengandung makna kemunculan embrio dari konsep individualisme dan materialisme pada sistem subak. Hal itu cendrung akibat masuknya sistem kapitalisme di sektor pertanian.
Dampak lain, di bidang sosial menyebabkan berkurangnya interaksi pada sistem subak, karena munculnya watak individualistis dalam proses usaha tani padi yang bersifat tulaksumur, yakni tidak beraturan yang baru menanam sementara di sebelahnya sudah panen.
Perebutan air dan pencurian air irigasi mungkin saja masih terjadi, karena adanya berkompetisi, dan individualisme tersebut. Untung saja sistem subak dilengkapi dengan infrastruktur andal satu saluran untuk satu lahan sawah (temuku).
Dengan demikian, kalau mereka kekurangan air irigasi dan managemen subak bisa berjalan sebagaimana mestinya, maka konflik antaranggota subak dapat dihindari.
Namun dampak positif dari hilangnya sistem kertamasa mampu meningkatkan produksi padi secara drastis, produktivitas lahan sawah meningkat sehingga mampu memperbaiki pendapatan petani.
Selain itu ketergantungan dari impor beras berkurang bahkan terjadi swasembada beras sehingga petani senang bertani dan ada kebanggaan sebagai petani. (WDY)