Seni budaya, adat dan agama yang dianut sebagian besar masyarakat Bali menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi dan memberikan arti, fungsi dan makna dalam tata keagamaan di Pulau Dewata.
Aktivitas ritual secara umum yang nampak adalah budayanya, seperti pada saat piodalan di Pura, baik seni sastra, seni tabuh (kerawitan), seni tari, seni kidung dan merangkai janur (jejahitan banten).
Seni budaya memang selalu mengiringi aktivitas ritual baik dalam bentuk Panca Yadnya, maupun keagamaan lainnya, sehingga seni tari menjadi aktivitas yang menunjang kegiatan keagamaan dan budaya masyarakat di Bali.
Tumbuhnya seni budaya pada awalnya merupakan kreativitas yang dipersembahkan kepada Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa sebagai wujud bhakti, tutur Ketua Program Studi Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Dr Ketut Sumadi.
Pria kelahiran Banjar Batuyang, Kabupaten Gianyar 52 tahun yang silam itu juga menjabat sebagai Ketua Komunitas Pengkajian Agama, Budaya, dan Pariwisata (Pagari) Bali workshop seni Arja yang dirangkai dengan pementasan drama tari Arja dengan lakon "Galuh Lika Liku".
Kegiatan itu mengusung tema "Akselerasi Transformasi Nilai Religiusitas dan Budaya Melalui Revitalisasi Seni Arja", sebagai salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat dalam meningkatkan pemahaman eksistensi seni Arja.
Selain itu mempunyai semangat kekinian dan menjaga kebertahanan identitas budaya bangsa yang sarat tuntunan religiusitas. Workshop yang berlangsung Jumat malam (18/7) menampilkan tiga pembicara terdiri atas praktisi/seniman I Nyoman Cerita, S.ST, M.FA, Drs. I Nyoman Arjana Adiputra,M.Ag, dan Praktisi Pendidikan, Drs. I Gde Rudia Adiputra, M.Ag.
Mereka secara berurutan memaparkan, "Keberadaan dan Struktur Pementasan Seni Arja", "Seni Arja dalam Aktivitas Religius" dan "Perkembangan Budaya Bali".
Hal itu disertai dengan pementasan satu babak tari Kolaborasi Seni Arja dengan lakon Galuh - Lika -Liku, didukung seniman Arja, Anak Agung Made Ayu Nuradhi, S.Sos.H dan kawan-kawan.
Selain itu juga melibatkan penari anak-anak Sanggar Seni "Lokananta" Singapadu pimpinan I Wayan Sutirtha, S.Sn. M.Sn, Sanggar Seni "Manik Suari" Batuyang, Batubulan Kangin pimpinan I Made Gde Mandra, S.Sn, Penari Kontemporer dari ISI Surakarta pimpinan Ni Nyoman Yuliarmaheni, S.Kar, M.Sn.
"Pementasan kolaborasi yang melibatkan seniman anak-anak, generasi muda dan orang tua itu mencerminkan adanya upaya akselerasi transformasi nilai religiusitas dan pelestarian warisan budaya, sekaligus menyiratkan daya kritis, responsif, kreatif dan inovatif para seniman seirama perkembangan peradaban global," ujar Ketut Sumadi yang almarhum ibunya seorang penari Arja di Desa Batuyang tahun 1950-an.
Kolaborasi seni
Seni arja merupakan seni teater yang sangat kompleks, karena merupakan kolaborasi atau perpaduan dari berbagai jenis seni yang hidup dan berkembang di Bali, seperti seni tari, seni drama, seni olah vokal, seni instrumental, seni sastra, seni pantomin, seni busana dan seni rupa.
Melalui seni Arja para leluhur orang Bali mengasah jati dirinya dan mengekspresikan talenta estetik sekaligus menguatkan ikatan sosial dalam hidup bermasyarakat. Namun belakangan ini seni Arja kurang menarik perhatian masyarakat, bahkan ada fenomena mulai ditinggalkan generasi muda, sehingga pementasan seni Arja sering sepi penonton.
Seni Arja seperti menjadi cerminan ekspresi lika-liku potret buram kehidupan masyarakat yang penuh tekanan kekerasan simbolik yang dipicu masalah sosial budaya, ekonomi, politik, atau hukum dalam pusaran budaya global.
Terinspirasi dari sepinya penonton seni Arja menjadi pertimbangan untuk melaksanakan workshop dan membuat skenario pementasan "Galuh-Lika-Liku". Oleh sebab itu seni Arja perlu direvitalisasi dengan meramu beragam unsur seni sehingga menjadi lebih menarik bagi masyarakat penonton.
Dari sinilah lahir bentuk dan struktur koreografi pementasan "Galuh Lika-Liku", disesuaikan dengan semangat anak-anak dan generasi muda yang doyan budaya popular. Secara keseluruhan garapan tari arja itu mencerminkan sebuah fragmen, potret lika-liku kehidupan manusia yang sangat dipengaruhi karakter dirinya sendiri dan kesiapan mental saat berhadapan dengan perkembangan zaman.
Suasana pedesaan Bali tempo dulu, terlebih saat terang bulan selalu diwarnai hiruk-pikuk candaria anak-anak yang bermain di halaman balai banjar atau tanah lapang. Di samping itu dalam tradisi Bali, suatu aktivitas termasuk pementasan kesenian selalu diawali dengan doa dan ritual, prilaku sujud mohon keselamatan dan kesuksesan Tuhan.
Suasana keceriaan anak-anak dan prosesi ritual mempersembahkan sesaji, dijadikan bagian dari adegan pertama skenario Galuh-Liku-Liku. Adegan selanjutnya sesuai pakem tradisi merupakan adegan panglembar, tampil penari Topeng Keras, kemudian disusul tarian Topeng Tua yang merupakan simbolisasi perjalanan hidup manusia yang lahir, tumbuh dan berkembang kecerdasannya, sebelum akhirnya menjadi suriteladan di usia tua.
Ketika fisiknya kian lemah digerogoti penyakit, adegan diramu dengan seni pantomin antara Topeng Tua, Topeng Keras dengan anak-anak sebagai bentuk kuatnya ikatan persaudaraan dan rasa hormat anak kepada orang tua.
Dalam seni Arja, Galuh dan Liku adalah dua orang tokoh sentral yang menentukan alur cerita, tokoh dua orang gadis anak seorang raja dengan karakter dan wajah yang berbeda. Galuh simbol gadis cantik dengan karakter yang cerdas, penurut dan ramah tamah.
Selain itu selalu bersikap manis kepada orang tua, menyukai olah religiusitas, sopan santun penuh tata krama dalam setiap tutur kata dan tindakannya, sehingga menjadi idaman setiap pemuda untuk menyuntingnya menjadi istri.
Sedangkan Liku simbol gadis yang kurang cantik dengan karakter keras kepala, menyukai budaya pop, pemberontak terhadap kemapanan yang mengekang privasinya, besar kemauan untuk selalu memenangkan persaingan, suka berpetualang dan melakukan sesuatu yang baru, berbeda dari kebiasaan gadis seusianya untuk mengekspresikan potensi dirinya yang kalah cantik dengan Galuh.
Asal-usul
Ketut Sumadi menjelaskan, asal-usul seni Arja, salah satu kesenian Kolaborasi Seni Arja Kompleksitas Kehidupan Manusia berbentuk teater atau sejenis opera yang dialog para tokohnya selalu diiringi tembang-tembang macapat, sehingga terkesan klasik.
Tidak diketahui dengan pasti mengapa model opera itu dinamakan Arja, namun ada dugaan arja berasal dari bahasa Sanskerta yakni reja yang kemudian mendapat awalan "a" sehingga menjadi "areja" dan akhirnya berubah menjadi "arja" yang berarti keindahan atau mengandung makna keindahan.
Pementasan seni pertunjukkan Arja memang identik dengan tarian berbalut nuansa estetik. Selain keindahan busana penuh ornamen dan asesoris mahkota (gelungan) dipenuhi bunga kamboja para penarinya, juga didukung permainan irama tembang dengan berbahasa Bali atau Jawa Kuna serta musik (gamelan) Bali sarat nilai religiusitas.
Dengan penataan panggung yang natural, mengesankan sebuah ruang berkesenian kontekstual dengan keseharian masyarakat yang bersahaja, penuh dinamika dalam lika-laku irama karakter diri masing- masing.
Semua itu pada akhirnya bermuara pada kebersamaan dalam suka-duka kehidupan. Awalnya kesenian Arja hanya ditarikan oleh satu orang tanpa diiringi gamelan disebut Arja doyong.
Dalam perkembangannya Arja menjadi tari hiburan masyarakat di Bali saat ada ritual keagamaan di pura dengan menghadirkan penari perempuan berperan sebagai tokoh-tokoh sentral seperti condong, galuh, liku dan mantri.
Sedangkan punakawan seperti punta dan wijil diperankan laki-laki. Dengan komposisi penari perempuan dan laki-laki. kemudian Arja menjadi seni pertunjukan yang sangat populer tahun 1960-an sampai tahun 1970-an, sebelum akhirnya kepopulerannya digantikan oleh hiruk-pikuk seni pertunjukkan Drama Gong, seni teater modern yang mengandalkan kemampuan dialog dan akting di panggung.
Semua jenis seni yang bersatu dalam arja dapat saling menyatu padu seperti halnya seni suara yang bertangga nada slendro atau pelog menjadi tembang yang sangat merdu dan menarik.
Sedangkan sebagai pendukung dan penegasan cerita dilakukan melalui monolog dan dialog plus humor. Arja sebagai salah satu bentuk teater rakyat Bali diperkirakan lahir abad ke-18, sekitar tahun 1775-1825, pada pemerintahan I Dewa Agung Gede Sakti di Puri Klungkung, dengan meramu unsur tari, drama dan nyanyian. (WDY)
Kolaborasi Seni Arja Kompleksitas Kehidupan Manusia
Sabtu, 19 Juli 2014 17:50 WIB