Sanur (Antara Bali) - Ilmuwan ahli katak dari Institut Pertanian Bogor, Dr Mirza D Kusrini mengemukakan hewan tersebut dapat menjadi indikator lingkungan hidup di sebuah kawasan, sehingga keberadaannya tetap perlu dijaga agar lestari.
"Setidaknya ada dua faktor terkait dengan katak sebagai indikator terhadap lingkungan," kata peneliti dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu di arena pertemuan tahunan ATBC (Association for Tropical and Conservation) di Sanur, Provinsi Bali, Kamis.
Dalam pertemuan ATBC yang diikuti sekitar 900 ilmuwan dalam negeri dan mancanegara itu, ia menjelaskan faktor pertama, ada katak yang diketahui kalau dia ada di suatu tempat, artinya lingkungan sudah buruk karena dia mampu masuk ke kawasan itu.
Ia memberi rujukan mengenai katak yang populer yang disebut "katak buduk".
"Kalau kita masuk ke hutan dan tiba-tiba ada katak buduk berarti sebentar lagi akan ada desa," katanya.
Menurut dia, ada jenis katak di Kalimantan yang sangat invasif, begitu ada kawasan baru dibuka, hewan tersebut tiba-tiba masuk, tapi ada satu lagi di mana katak itu untuk jenis-jenis tertentu berudu-nya hanya mau hidup di air jernih dan tidak beracun.
"Sehingga kalau ada pencemaran dia akan hilang atau akan menjadi cacat," katanya.
Apakah fenomena itu sudah terjadi di Indonesia, ia menjelaskan sampai sekarang belum ada studi yang menguatkan, hanya saja yang paling dikhawatirkan dengan terjadinya kerusakan habitat dan kerusakan lingkungan, hal itu tidak mustahil dapat terjadi.
Ia menyontohkan di Kalimantan ada jenis katak yang tidak mempunyai paru-paru, itu satu-satunya di dunia. Katak itu bernafasnya melalui dua hal yakni paru-paru dan kulit, sehingga air dan oksigen langsung masuk lewat kulit.
Dalam kasus jenis katak di Kalimantan, sama sekali tidak punya paru-paru dan tinggalnya harus di hulu yang dingin, dengan oksigen sangat jenuh, serta katak itu berada di air dan tidak pernah naik-naik lagi.
"Nah, masalahnya di Kalimantan itu sekarang mulai ada merkuri bekas penambangan liar emas, dan itulah yang dikhawatirkan bahwa katak itu bisa hilang," kata Miki --panggilang karib Mirza D Kusrini yang juga Presiden Komunitas Herpetologi Indonesia.
Sedangkan faktor kedua yang bisa dijadikan indikator, kata dia, ada beberapa jenis katak yang sangat endemik, sehingga dia tidak akan kemana-mana.
Sebagai contoh, dalam penelitian yang dilakukannya ada katak di Cibeureum, kawasan Gunung Gede Pangrango populasinya hanya ada tiga tempat di Cibodas.
"Memang masih bisa ditemukan ekosistem katak itu, tetapi satu tempat sudah hilang yang di dataran tinggi, kita khawatir mungkin dengan pemanasan global, peerubahan suhu, penyakit, akan berubah," katanya.
Ketika ditanya apa pengaruhnya jika katak tidak ada lagi, menurut dia, hewan-hewan itu adalah bagian dari ekosistem dari sebuah mata rantai yang saling berkaitan dengan lainnya, seperti katak memakan serangga, ada yang sebagai predator pada katak yang sama, sehingga jika ada satu mata rantai yang terputus akan mengganggu secara keseluruhan.
ATBC merupakan organisasi profesi terbesar dan tertua di dunia dalam hal biologi dan pelestarian alam tropika.
Organisasi itu telah melakukan pertemuan tahunan rutin sejak tahun 1963, terutama di negara tropis dan pada tahun 2010 Indonesia menjadi tuan rumah untuk pertama kalinya dengan penanggung jawab kegiatan, LIPI dan Universitas Indonesia.
ATBC yang dibentuk pada tahun 1963 mempunyai misi memberdayakan riset serta memfasilitasi pertukaran pemikiran di bidang biologi dan lingkungan tropika.
Sebagai suatu perhimpunan, ATBC menerbitkan suatu publikasi ilmiah berskala internasional yang kini menjadi salah satu terbitan paling terkemuka di bidangnya yaitu Biotropica.
Fokus ATBC digalang dengan komprehensif, mulai dari sistematika hingga ekologi, dari jasad renik hingga flora fauna berukuran-besar, dari perairan tawar hingga kehutanan dan lautan.
Dewasa ini ATBC bahkan mencakup dimensi manusia, dengan memperhatikan interaksi manusia seringkali berperan sangat menentukan terhadap disiplin biologi, dan interaksinya.
Pertemuan tahunan ATBC merupakan pertemuan yang penting, sehingga penyelenggaraannya pun dilaksanakan di berbagai penjuru dunia, sebagai contoh tahun 2001 di Bangalore, India (symposia), 2002 di Panama City, Panama (symposia), 2003 di Aberdeen, Inggris (abstracts), 2004 di Miami, Amerika Serikat (abstracts), 2005 di Uberlbndia, Brasil (symposia), 2006 di Kunming, China (abstracts).
Kemudian, pada tahun 2007 di Morelia, Mexico (abstracts), 2008 di Paramaribo, Suriname (abstracts), tahun 2009 di Marburg, Germany, sedangkan tahun 2010 di Indonesia dengan tema "Keanekaragaman Tropika: Menghadapi Krisis Pangan, Energi dan Perubahan Iklim"'.
Dalam pertemuan ini dibahas berbagai hal Keanekaragaman Hayati Pesisir dan Lautan, Perubahan Iklim dan Kehutanan berbasis Karbon, Kesehatan dan Konservasi, Sistem Pengetahuan Tradisional, Ekosistem di Papua dan Papua Nugini, Biogeografi di Wallacea, Orang-utan, Ornitologi, Entomologi, dan banyak lainnya.
Kegiatan yang telah dimulai secara resmi pada 19 Juli 2010 itu, pada Rabu (21/7) dibuka oleh Wakil Presiden Boediono, dan akan berakhir pada Jumat (23/7).
Wakil Presiden Boediono mengatakan, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menghapus emisi karbon dioksida sebesar 26 pesen pada tahun 2020.
"Untuk mewujudkan komitmen itu berbagai upaya kita telah lakukan, di antaranya melakukan konservasi hutan dan lingkungannya," katanya.
Ia juga mengatakan, kebijakan pemerintah lebih memprioritaskan ketahanan pangan dan energi dalam upaya menghadapi perubahan iklim tersebut.
Oleh karena itu, kata Boediono, kelestarian lingkungan alam harus dijaga, termasuk juga keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi.
"Kita telah melakukan perjanjian kerja sama dengan Norwegia dalam hal konservasi hutan dan habitatnya," kata Wapres.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Dr Lukman Hakim mengatakan, pertemuan ini diharapkan dapat membuat Indonesia lebih berperan dalam masalah keragaman hayati di tingkat internasional.
Deklarasi yang akan dihasilkan dalam pertemuan itu akan menjadi masukan bagi berbagai konvensi internasional yang ujungnya akan menjadi acuan bagi setiap negara dalam membuat undang-undang ataupun peraturan di negara masing-masing.
Selama ini, negara-negara yang tidak mempunyai biodiversity, seperti negara di Eropa, malah lebih dominan dalam hal ini," katanya.
Dia mengatakan, berbagai temuan dari hasil riset yang telah dilakukan diharapkan dapat menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan.
"Kami ingin pengetahuan maupun penelitian dan kebijakan itu tidak berjauhan," katanya.(*)
Ilmuwan: Katak Bisa Menjadi Indikator Lingkungan
Kamis, 22 Juli 2010 8:31 WIB