Arusha, Tanzania (Antara Bali/Xinhua-OANA) - Satu spesies baru katak yang unik telah ditemukan di Tanzania Timur, perkembangan yang diperkirakan akan mendorong potensi pariwisata bagi pencinta hewan amfibi dan peneliti di negara Afrika Timur.
Charles Meshark, Direktur Pelaksana bagi Kelompok Pelestari Hutan Tanzania (TFCG) pada Selasa (14/2) mengatakan spesies baru itu telah ditemukan di Hutan Suaka Alam Ruvu Selatan, yang berada sekitar 45 kilometer dari Ibu Kota Komesial negeri tersebut, Dar es Salaam.
Meshark mengatakan pada 2001 sekelompok ilmuwan yang bekerja untuk organisasi non-pemerintah Frontier-Tanzania mengumpulkan katak yang kelihatan aneh dari Hutan Ruvu Selatan. Enam-belas-tahun kemudian, satu analisis genetika dan morfologis oleh ilmuwan Inggris Chris Barratt dan Simon Loader mengungkapkan bahwa katak itu adalah baru buat ilmu pengetahuan.
Katak tersebut telah diberi nama Hyperolius ruvuensis atau katak alang-alang berduri Ruvu, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu malam. Katak itu ditemukan di alang-alang dan semak-belukar di daerah rawa lahan rumput terbuka di dalam suaka alam itu. Katak tersebut tak pernah terlihat sejak 2001, meskipun ada survei cepat pada 2015.
"Temuan spesies katak baru ini menyoroti pentingnya Hutan Suaka Alam Ruvu Selatan buat pariwisata terutama buat pencinta hewan amfibi dan peneliti," kata Meshark. Ia menyeru Badan Layanan Hutan Tanzania (TFS) untuk memberi sumbangan dan melindungi hutan alam serta tanah basah di suaka alam tersebut.
Menurut dia, lebih dari 40 persen hutan di Hutan Suaka Alam Ruvu Selatan hilang antara 2000 dan 2011. Kebakaran dan produksi arang secara tidak sah terus mengakibatkan kerusakan pada habitat alam spesies baru itu.
Katak yang digambarkan belum lama ini menawarkan perhitungan menarik mengenai sejarah evolusioner satu kelompok katak alang-alang di wilayah tersebut dengan hubungan dekatnya dengan spesies hutan pegunungan Afromontane Timur.
"Katak yang kami lihat hari ini di Rucu Selatan tampak seperti relik mengenai habitat hutan yang dulu tersebar luas yang, melalui dampak manusia dan perubahan iklim bersejarah, menjadi terkucil, dan sendirian di hutan pantai Rucu," kata ilmuwan Dr Simon Loader, Kepala Regional IUCN SSC Kelompok Ahli Amfibi. (WDY)