Sosok seniman serba bisa itu tidak pernah henti dalam aktivitas seni, setelah sukses merefleksikan ritus seni rupa, karya seni instalasi, seni video dan lukisan dalam pameran tunggal di perkampungan seniman Ubud, kini tampil dalam kemasan unik melibatkan belasan fotografer pilihan.
I Nyoman Erawan (56), seniman kondang kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, tampil dalam pameran kolaborasi menyuguhkan 320 foto dokumentasi, 23 foto seni (art), karya instalasi dan video mapping di Bentara Budaya Bali Ketewel, Kabupaten Gianyar.
Pameran yang berlangsung selama seminggu 10-17 Mei 2014 juga diisi dengan diskusi menyangkut perkembangan imaji atas citraan molek Pulau Bali yang disampaikan lewat karya-karya fotografi, tutur Kurator pameran tersebut I Wayan Seriyoga Parta.
Ayah dari dua putra putri, masing-masing I Putu Sastra Wibawa dan Ni Made Gita Karisma itu dalam pameran kali ini merangkul sejumlah fotografer antara lain Ida Bagus Darmasuta, Komang Parwata "Totok", Agus Wiryadhi Saidi, Dewa Gede Purwita, Komang Purnama Santi "Asok", dan Raden Cahyoko "Kokok".
Para seniman fotografi dan video maker tersebut menghadirkan rangkaian dokumentasi peristiwa, dan menginterpretasikannya kembali melalui sebentuk representasi dan persepsi baru.
Pameran mengusung tema "Beyond a Light:Sebuah Ritus Kelahiran Kesadaran Subjek" juga menampilkan foto-foto lawas tentang orang Bali, seperti menghadirkan karakter yang khas Raja Buleleng I Gusti Ngurah Ketut Jlantik tengah memegang lontar dengan bawahannya.
Foto tersebut konon diabadikan tahun 1865 oleh pihak Belanda setelah berhasil menaklukkan kerajaan Buleleng tahun 1849. Dokumen foto itu menyiratkan hampir dua abad yang lalu Bali sudah dikenalkan dengan fotografi.
Setelah tahun 1900-an ketika kerajaan-kerajaan di Bali Selatan ditaklukkan Belanda, foto-foto khususnya para perempuan telanjang dada memakai kamen (kemben) atau busana penari, kemudian membanjiri imaji manusia Bali di dunia Barat.
Melalui media representasi seperti foto, postcard, film dan lukisan oleh seniman Barat itulah citra tentang identitas dan tradisi budaya Bali diproduksi secara terus menerus.
Imaji-imaji itu menggambarkan pulau sorga dengan kebudayaan yang murni, sebuah dunia mimpi yang bertolak belakang dengan Barat (Eropa) yang tengah dilanda bencana kemanusiaan akibat perang yang berkepanjangan.
Peradaban Barat serasa menjadi dingin dan kelam, akibat kemajuan teknologi yang justru diperuntukkan untuk menghancurkan tatanan nilai kemanusiaan demi rasa haus akan kekuasaan para diktator.
Terbukti, fotografi dan film adalah media yang ampuh dalam mengenalkan kebudayaan Bali di dunia internasional, hingga namanya tertanam begitu dalam sampai kini. Imaji fotografi telah membenamkan kebudayaan Bali dalam kerangkeng ruang dan waktu masa lalu yang begitu membekas.
Pencerabutan
Suami dari Ni Wayan Juniasih itu menilai membekasnya imajinasi Bali masa lalu yang hingga kini terus dikonstruksi menjadikan kebudayaan Bali mengalami pencerabutan dari realitasnya dan foto sebagai tanda simbolik telah mencabut kebudayaan Bali dari konsep perkembangan waktu.
Foto dokumentasi Bali masa silam membenamkannya dalam ruang dan waktu pada konteks masa lalunya nan eksotik penuh dengan harmoni dalam kebisuan yang senyap. Perkembangan kebudayaan memang seiring dengan meningkatnya perekonomian yang bertalian dengan sederet perubahan sosial.
Semua itu dibungkus dengan rapi oleh imajinasi yang berasal dari citraan masa lalu. Imajinasi simbolik fotografi telah menjadikan Bali berada dalam dua dunia, hidup dalam realitas kekinian dan bayang-bayang citra masa lalunya.
Oleh sebab itu kehadiran fotografi memiliki dimensi sejarah panjang dalam kebudayaan Bali, terutama sejak kehadiran Barat. Saat itu orang Bali adalah objek dari fotografi, objek yang tak punya kuasa pada representasi yang menghadirkan mereka.
Perkembangan teknologi fotografi digital ikut memberikan kebebasan kepada siapapun untuk dapat menjadi subyek dan menentukan pilihannya sendiri dalam mengeksplorasi medium tersebut.
Kini orang Bali telah menjadi subjek untuk diri dan kebudayaannya, sebagaimana halnya dalam projek yang tengah digulirkan oleh perupa Nyoman Erawan bersama para perupa cahaya (fotografi dan videografi).
Tanpa disadari kehadiran tilikan kamera para fotografer dan kamerawan (perupa cahaya) yang tanpa dikoordinir telah berperan penting mengabadikan momen-momen yang tak kan terulang itu.
Projek kemudian berlanjut pada peristiwa berikutnya, mengawali tahun 2014 Erawan secara khusus mengundang para penyair Bali terlibat dalam projek "Erawan vs. Penyair Sejati" dalam ritus yang bertajuk "Bunyi, Kata, Rupa" di Antida Denpasar.
Bersamaan dengan itu, diundang pula para perupa cahaya yang diminta mendokumentasikan peristiwa tersebut. Selepas kegiatan, ide-ide kreatif Erawan kembali terusik setelah menyaksikan rekaman-rekaman peristiwa tersebut, sehingga munculah gagasan untuk melanjutkan proses kreatif itu menjadi representasi baru
Gerakkan proses kreatif
Ratusan foto dokumentasi tentang Bali masa silam yang ditampilkan dalam pameranoleh perupa Nyoman Erawan bertujuan menggerakan kembali proses kreativitas yang tak pernah pupus dari rekaman peristiwa seni.
Foto dokumentasi Bali masa silam menjadi sumber eksplorasi baru bagi Nyoman Erawan bersama para perupa cahaya lainnya. Karya cahaya itu mampu menggali batas-batas konvensi pemahaman terhadap foto-dokumentasi dengan kemampuan uniknya dalam membingkai ruang dan waktu dengan kemujizatan cahaya.
Para fotografer memanfaatkan trik-trik dasar dalam fotografi dengan memainkan kecepatan bukaan diafragma seperti karya-karya Agus Wiryadi Saidi.
Memakai teknik-teknik konfensional dalam fotografi bukan perkara mudah dan tidak diperuntukkan hanya demi permainan efek teknis semata. Efek dalam karya Gus Wir tidak berhenti hanya menjadi permainan visual, karena efek-efek itu "berbicara" menghadirkan ungkapan mistis.
Yang ditangkap bukan kesunyataan realita, namun dengan kepakaannya Gus Wir menangkap aura dari ritus Bunyi, Kata, Rupa yang telah berlalu. Ruang dan waktu dihidupkan kembali melalui efek-efek kamera. Foto dalam hal ini menjadi ruang mediasi bagi imajinasi dan interpretasi terhadap sebuah peristiwa.
Perkembangan teknologi digital dengan berbagai kemudahan operasionalnya kini menjadi medium yang relatif mudah untuk diakses.
Terobosan kemajuan manipulasi digital menghadirkan berbagai program olah digital semacam photoshop, memberi kemudahan dan berbagai kemungkinan kreasi pada rekaman fotografis.
Hal itulah yang dimanfaatkan oleh Ida Bagus Darmasuta, sebagai fotografer sekaligus sastrawan karya-karya fotografinya sarat dengan warna puitik. Karyanya pada proyek kali ini mengolah kembali dokumentasi dalam kreasi digital, ujar I Wayan Seriyoga.
I Wayan Seriyoga yang juga kandidat doktor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. (WDY)