Jakarta (ANTARA) - Pementasan "Taksu Ubud" yang digelar Titimangsa Foundation bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, menjadi ekspresi seniman/budayawan di masa pandemi dalam menyampaikan perasaan terhadap alam dan Sang Pencipta.
"Taksu Ubud" adalah pertunjukan seni drama, tari dan musik yang menampilkan Ubud sebagai bagian penting dari wajah Bali.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, masyarakat Ubud berhubungan dengan Tuhannya dan membina hubungan baik juga dengan sesama manusia dengan berkesenian.
“Berkesenian bagi masyarakat Bali, khususnya Ubud, bukan hanya menjadi kerja kebudayaan, tetapi juga berlaku sebagai ibadah kepada Tuhannya, sebuah identitas diri dan masyarakat, serta pengejawantahan dari taksu—jiwa—masyarakat Ubud itu sendiri,” ungkap Hilmar, dikutip dari siaran resmi, Minggu.
Adat dan tradisi masyarakat Ubud ini yang juga menarik wisatawan lokal dan dunia untuk datang ke Ubud dan melihat serta merasakan taksu-nya Ubud.
Melalui kisah yang sederhana, "Taksu Ubud" merupakan buah dari keinginan untuk menyatukan sebagian kecil dari keindahan seni Ubud. Pertunjukan ini adalah sebuah inisiatif kecil untuk mengadakan kembali ruang bagi sebagian pelaku seni Ubud untuk membangun kembali suasana Ubud yang sarat akan adat dan tradisi Bali.
Berkisah tentang seorang pemuda Ubud, Umbara, yang sejak kecil tinggal jauh dari Ubud dan ibunya. Tiba saatnya sang Ibu meminta Umbara untuk pulang ke Ubud. Seketika Umbara berhadapan dengan dilema. Haruskah kenyamanan dan kemudahan yang ia peroleh selama di perantauan ia tinggalkan demi cinta Ibu dan Ubud, sebuah tempat leluhur yang asing baginya?
Garapan "Taksu Ubud" menampilkan tarian, tetabuh dan mekidung yang melibatkan banyak kelompok penari dan penabuh, seperti Gamelan Yuganada, Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Kertha Art Performance, Sanggar Cudamani, Ubud Performing Art, Napak Tuju, Swaradanta dan Yayasan Janahita Mandala Ubud. Selain itu, "Taksu Ubud" juga menampilkan seniman-seniman senior Bali yang telah berkarya puluhan tahun dengan penuh dedikasi pada seni dan pengembangan budaya seperti Agung Oka Dalem dan Cok Sri (seniman tari), Aryani Williems (aktor), Desak Nyoman Suarti (seniman motif tradisi) dan Made Sukadana Gender (seniman dalang). Ada pula aktor-aktor Indonesia yang sudah tidak asing lagi, yaitu Reza Rahadian dan Christine Hakim.
"Taksu Ubud" melibatkan banyak penggiat seni yang memiliki integritas dan dedikasi pada profesi seperti Dayu Ani sebagai Sutradara Gerak, I Wayan Sudirana sebagai Sutradara Tabuh, Kadek Purnami sebagai Pimpinan Produksi, Anom Darsana sebagai Penata Suara, Johan Didik sebagai Penata Cahaya, Rai Pendet dan Yosep Anggi Noen sebagai Sutradara Visual, Cok Bayu, Agung Iswara dan Dika Pratama sebagai Penata Artistik, Ayu Putri Anantha, Arsa Wijaya dan Dewa Ayu Eka Putri sebagai koreografer sekaligus pementas.
Happy Salma yang bertindak sebagai produser bagi pementasan ini menjelaskan bahwa "Taksu Ubud" terinspirasi dari alam, gerak, tutur dan rasa ikhlas yang tidak berputus asa dari teman-teman di Bali, khususnya Ubud yang memang dekat di hatinya secara pribadi. Kesenian di Bali terutama selalu menjadi jendela keindahan Indonesia. Pada masa sekarang ini rasanya penting memberi ruang untuk para pelakunya mengekspresikan perasaannya. Upaya kecil tapi penting untuk dilakukan.
“Poin paling utama dalam proses kali ini adalah menyatukan energi kerja kolaborasi. Rasa yang menurut saya perlu dimiliki dalam situasi serba sulit seperti sekarang ini. Menyatukan perasaan kebersamaan dengan penuh tanggung jawab dan menghadirkan energi optimisme dan rasa saling mendukung untuk sebuah kerja kreatif yang datangnya dari hati karena bakti dan kecintaan pada seni, adat dan tradisi,” jelas Happy.
Ida Ayu Wayan Arya Satyani atau lebih dikenal dengan Dayu Ani, sebagai Sutradara Gerak mengungkapkan, pementasan ini merupakan karya unik dan menantang dikarenakan buah kerja kolaborasi.
“Kita tidak menempatkan salah satu elemen sebagai penunjang elemen yang lainnya. Semua posisinya sama penting, ya musik, ya koreografi, ya teatrikalnya, ya setting-nya, dan lain-lain. Tapi saya yakin, karya yang didedikasikan sebagai sebuah persembahan/doa/jantra/mantram, getaran itu jauh lebih penting daripada pemahaman. Pemahaman akan menyusul kemudian,” jelas Dayu Ani.
Sutradara Tabuh, I Wayan Sudirana, sependapat, bahwa proses pengerjaan komposisi pementasan menantang dan sekaligus menyenangkan ketika menyesuaikan dengan tema dan konsep yang tumbuh karena proses bersama.
“Contohnya seperti nomor musik ‘Orkestra Semesta’ yang menjadi pembuka pentas. Komposisinya memang panjang secara durasi karena di dalamnya ada siklus nada di sembilan arah mata angin. Bayangan saya langsung mengarah pada nada-nada semesta, bagaimana nada-nada tersebut berada pada titik kardinalnya dan berinteraksi dengan nada-nada yang lain,” ungkap Sudi panggilan akrabnya.
Pentas "Taksu Ubud" telah direkam beberapa waktu lalu bertempat di Arma Museum, Ubud sebagai tuan rumah. Masyarakat dapat menikmati pementasan secara daring yang ditayangkan perdana pada 6 Juli 2021 pukul 19.00 WIB di kanal Youtube Budaya Saya. "Taksu Ubud" dapat disaksikan secara bebas selama satu minggu hingga 12 Juli 2021.
"Taksu Ubud" jadi ekspresi seniman/budayawan Ubud di masa pandemi
Minggu, 4 Juli 2021 9:45 WIB
Berkesenian bagi masyarakat Bali, khususnya Ubud, bukan hanya menjadi kerja kebudayaan, tetapi juga berlaku sebagai ibadah kepada Tuhannya, sebuah identitas diri dan masyarakat, serta pengejawantahan dari taksu —jiwa— masyarakat Ubud itu sendiri