Denpasar (Antara Bali) - Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian yang diwarisi secara turun-temurun di Bali merupakan keterikatan empat dimensi, kata Guru Besar Universitas Udayana Wayan Windia di Denpasar, Jumat.
Prof. Dr. Windia menyebutkan keempat dimensi yang mempunyai keterikatan petani dengan subak itu, yakni parhyangan (tempat suci Pura Ulun Suwi), pawongan (anggota subak), palemahan (wilayah subak), dan emosional (semangat kerja).
Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud mengatakan bahwa keempat dimensi satu sama lain saling terikat menjadi kekuatan subak yang mampu menembus lintas wilayah, lintas sektor, dan lintas generasi.
Hal itu, lanjut dia, telah tumbuh sebagai harapan keunggulan dari kearifan lokal Bali untuk mampu menghadapi perubahan akibat pengaruh modernisasi dan globalisasi.
Masyarakat, kata Prof. Windia, menoleh kembali potensi kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan, seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.
Windia mengemukakan bahwa etos kebangkitan kearifan lokal tersebut mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat secara konteks kaya akan fungsi dan makna.
Berbagai hasil penelitian, termasuk yang dilakukan oleh peneliti warga negara asing, menyebutkan bahwa adanya keragaman kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi tradisional subak.
Peneliti asing, antara lain Grader dengan wilayah kajian Kabupaten Jembrana (1984); Geertz dengan lokasi kajian Kabupaten Tabanan, Badung, dan Klungkung (1959); dan Lansing wilayah kajian Bangli (1991).
Mereka mengungkapkan mengenai perkembangan subak dengan aneka kearifan lokal.
Demikian pula, peneliti lokal, seperti Bagus (1971), Sutawan (1989 dan 1991), Sushila (1987), Geriya (1985), Pitana (1993), Windia (2006), dan Norken (2007) telah memperkaya serta menguatkan tentang holistiksitas kearifan yang tercakup dalam organisasi subak.
Kearifan itu, kata Windia, merentang dari tatanan religius yang bersifat ekspresif sampai dengan tatanan teknologi yang berkarakter progresif dan kultural.
Kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan menurut para antropolog memiliki bentuk, fungsi, makna, dan etos yang dalam.
Keseluruhan kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi subak secara kategorikal terdiri atas kearifan religius, kultural, ekologis, institusional, ekonomi, hukum, tehnologi, dan keamanan.
Masyarakat dan kebudayaan Bali bergerak secara dinamik dan berubah. Dalam satu dekade terakhir, kata Windia, dinamika itu makin cepat sehingga cenderung makin terbuka jalur cepat bagi modernisasi dan globalisasi.
Dengan demikian, lanjut dia, lebih besar manghadirkan risiko daripada manfaat bagi petani dan kelangsungan subak tersebut. (WDY)