Denpasar (Antara Bali) - Pemerintah Provinsi Bali mengakui masih banyak aset-aset pemerintah yang belum terdata sehingga berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara.
Kepala Biro Aset Pemprov Bali Ketut Adiarsa di Denpasar, Rabu, menyebutkan adanya sembilan permasalahan serius menyangkut aset, seperti tanah seluas 419,8 hektare eks-HGU di Desa Sumber Kelampok, Kabupaten Buleleng seluas 419,8 hektare.
Tanah tersebut kini tengah dimohonkan pelepasan hak milik oleh warga Sumber Kelampok. Namun tanah itu diklaim Pemprov Bali tanpa disertai bukti kepemilikan.
Demikian pula tanah eks-HGU di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerogak, Buleleng. PT Margarana tetap mengklaim perpanjangan HGU merupakan hak prioritas mantan pemegang HGU.
Pemprov menang di pengadilan negeri dan banding, tetapi pihak PT Margarana mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Tanah bukti DN 11 di Desa Unggasan, Badung. Keempat, tanah SHP Nomor 30, 39 dan 50 d Desa Sidakarya sertifikatnya ganda dengan HGB Nomor 68 atas nama PT Graha Aneka Jasa Utama.
Pemprov kalah dalam putusan kasasi di MA dan harus ada mekanisme penghapusan aset tanah melalui persetujuan DPRD Bali. Kelima, masalah tanah SHP Nomor 87 Desa Sumerta Kelod, tepatnya di depan Kantor Dispenda Bali dengan luas 14,5 are yang mana pemprov digugat dan kini prosesnya masih kasasi di MA.
Masalah tanah HP Nomor 2 di Desa Kesiman Kertalangu seluas 8,9 hektare atau lebih dikenal sebagai eks taman rekreasi atau festival yang mana pemprov berperkara dengan Boedi Hartono selaku pemenang lelang HGB. Sesuai putusan kasasi MA, pemprov menang.
Namun pihak Kanwil BPN Bali menyatakan putusan TUN (Tata Usaha Negara) itu tidak dapat dijadikan dasar pembatalan HGB sehingga pemprov diminta melakukan gugatan perdata.
"Untuk masalah itu, saat ini masih penyusunan materi gugatan di Biro Hukum," kata Adiarsa.
Persoalan tanah sawah negara (SN) bergadai di Kuta Utara yang totalnya ada 120 bidang tanah. Pemprov sulit menyertifikatkan karena penggarap tetap mengklaim tanah itu sebagai hak mereka. Bahkan masyarakat tengah memohonkan tanah itu menjadi hak milik mereka.
Demikian pula dengan persoalan pemanfaatan tanah aset Pemprov Bali untuk rumah tinggal eks-transmigrasi Timor-Timur.
Tak ketinggalan berpindahtangannya tanah 2,5 hektare milik Pemprov Bali di Hotel Bali Hyatt Sanur.
Dua anggota DPRD Provinsi Bali, Made Supartha dan Ida Bagus Putu Parta, menilai pemerintah sangat lambat dalam menyelesaikan persoalan aset.
"Kami agak gelap soal aset ini dan eksekutif terlambat serta salah langkah menyelesaikannya. Soal inventarisasi saja kita ketinggalan jauh," kata Supartha.
Sementara Ketua Pansus Aset DPRD Bali Made Arjaya menegaskan, permasalahan aset secara bertahap akan diselesaikan, sehingga habis masa jabatan anggota DPRD periode 2010-2014 masalah aset bisa tuntas.
"Tapi masalah Sumber Kelampok dan aset di Hotel Bali Hyatt akan kami tuntaskan dulu sebagai prioritas, baru menyusul masalah lainnya. Yang jelas kami akan bekerja maksimal," katanya. (WRA)