Hamparan lahan sawah yang menghijau, dengan lokasi yang berundag-undang (terasering) di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah "gudang beras" di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.
Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari, menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang cukup luas.
Kondisi sawah yang demikian masih bisa ditemui secara mudah di berbagai lokasi lainnya di Bali, meskipun secara fisik sejumlah subak di tempat-tempat strategis, khususnya di Kota Denpasar, Badung dan Kabupaten Gianyar mulai beralih fungsi ke non-pertanian.
Lahan pertanian yang beralih fungsi untuk berbagai lokasi pembangunan, termasuk sektor pariwisata setiap tahunnya tidak kurang dari 1.000 hektare, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia, MS.
Di balik alih fungsi lahan yang didukung sistem pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Pulau Dewata itu masih ada alam dan potensi budaya yang bisa dikembangkan lebih intensifkan menjadi atraksi wisata yang unik dan menarik, sebagai upaya meningkatkan kunjungan turis, meskipun wisman sudah berulang kali ke daeah ini.
Namun pengembangan objek wisata alternatif itu memerlukan sentuhan kreativitas dan terobosan baru, sehingga kehadirannya bisa menarik dari objek yang ada selama ini.
Windia yang juga ketua tim penelitian model pengembangan agrowisata dalam wilayah subak menjelaskan, pengembangan objek wisata alternatif itu tetap berbasis pada budaya lokal.
Sawah dan petani menjadi salah satu aset pariwisata. Dari kehidupan pertanian lahir nilai-nilai budaya agraris yang sangat luhur yang dapat dijadikan aset pariwisata, tutur Prof Windia yang juga ketua badan penjaminan mutu Unud.
Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 atau 64 tahun yang silam itu mencatat kearifan lokal yang menjadi kekuatan subak memiliki sifat dasar sosio-kultural dan sosio-religius yang unik.
Subak yang memiliki berbagai kecerdasan itu merupakan bagian dari kebudayaan lokal berbasis konseps Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi unirversal terkait dengan kandungan filosofi kosmos.
Esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, rasa relegius, subyektivikasi manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan alam semesta secara berkelanjutan.
Subak, dalam rentangan panjang kebudayaan agraris diperkirakan telah berkembang sejak abad XI atau selama sepuluh abad telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh.
Masyarakat Bali kembali menoleh potensi kearifan lokal subak yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti religius, harmoni, kebersamaan dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.
Etos kebangkitan kearifan lokal menjadi momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang kaya akan fungsi dan makna.
Sejumlah peneliti asing telah melaporkan tentang keragaman kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi pengairan tradisional subak. Peneliti asing seperti Grader dengan wilayah kajian Kabupaten Jembrana (1984), Geertz dengan lokasi kajian Tabanan, Badung dan Klungkung (1959).
Demikian pula Lansing dengan wilayah kajian di Kabupaten Bangli (1991) telah mengungkapkan tentang perkembangan subak dengan aneka kearifan lokal. Sementara peneliti lokal seperti Bagus (1971), Sutawan (1989 dan 1991), Sushila (1987), Geriya (1985), Pitana (1993), Windia (2006), Norken (2007) telah memperkaya dan menguatkan tentang holistiksitas kearifan yang tercakup dalam organisasi subak. Kearifan itu merentang dari tatanan religius yang bersifat ekspresif sampai dengan tatanan teknologi yang berkarakter kultural.
Etos yang dalam
Windia menambahkan, kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan memiliki bentuk, fungsi, makna, dan etos yang dalam. Keseluruhan kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi subak secara kategorikal terdiri atas kearifan religius, kultural, ekologis, institusional, ekonomi, hukum, tehnologis, dan keamanan.
Kearifan religius sangat fokus pada keyakinan tentang ketuhanan, spiritualitas yang merupakan roh kehidupan berorganisasi subak. Untuk itu petani yang terhimpun dalam organisasi subak ditekankan tetap memelihara dan menjaga kesucian seluruh ranah subak.
Kesucian menjadi pangkal harmoni sekaligus menguatkan alam semesta. Demikian pula makna kearifan kultural sangat fokus pada energi budaya yang mencakup etika, logika, estetika dan praktika.
Melalui landasan filosofi dan tata nilai, tatanan aktivitas subak diharapkan secara kokoh mampu mempertahankan konsepsi Tri Hita Karana sebagai landasan filosofi subak.
Keyakinan warga subak yang mengkonsepsikan tanah sebagai Ibu Pertiwi, air sebagai simbul Dewa Wisnu dan padi sebagai Dewi Sri memperkuat eksistensi kearifan kultural yang dijiwai oleh agama Hindu.
Hidupnya siklus ritual terhadap tanaman padi yang sejalan dengan upacara siklus hidup manusia merupakan refleksi humanisasi dan penghormatan petani tehadap tanaman, hewan dan aneka sumber daya alam (hutan, sumber air) sebagai simbul dari relasi yang bersifat simbiosis mutualisme.
Subak sebagai kultural heritage juga diapresiasi secara lokal, nasional dan dunia melalui Badan PBB yang membidangi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) yang mengapresiasi Subak Jatiluwih, Tabanan bersama pura Taman Ayun, Badung dan peninggalan Arkeologi Tukad Pakerisan Gianyar sebagai warisan budaya dunia (WBD).
Makna kearifan ekologis terfokus pada konservasi, keseimbangan dan sustainabilitas lingkungan. Pemuliaan terhadap tanah, air dan aneka sumberdaya menjadi preferensi petani yang dikuatkan secara etik dan perundang-undangan (awig-awig).
Sebaliknya pencemaran terhadap tanah, air, dan sumber daya dapat dicegah melalui tindakan, awig-awig dan sistem ritual. Berbagai teknik konservasi, dari konsepsi preservasi sampai dengan adaptasi yang diimplementasikan oleh organisasi subak yang cukup arif terkait dengan penghematan, kelancaran dan pembatasan polusi aneka sumberdaya alam.
Etika dan estetika lingkungan merupakan kearifan ekologis yang mampu memancarkan pesona persawahan dan budaya agraris di Pulau Dewata, tutur Prof Wayan Windia. (WRA)
Keunggulan Subak Diversifikasi Jadi Objek Wisata
Jumat, 30 Agustus 2013 22:35 WIB