Singaraja, Bali (ANTARA) - Akademisi Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja, Bali, Dr. I Made Gami Sandi Untara mengatakan Siwaratri atau hari suci pemujaan Dewa Siwa dalam kepercayaan agama Hindu dimaknai sebagai momentum melakukan transformasi diri.
"Dalam Hindu, transformasi ini melibatkan tiga praktek utama yang dikenal sebagai Monabrata (berpuasa bicara), Upawasa (berpuasa makan dan minum), dan Jagra (tidak tidur sepanjang malam)," kata Gami Sandi di Kota Singaraja, Senin.
Ia menjelaskan perayaan Siwaratri dimulai dengan pengendalian fisik, seperti puasa dan tidak tidur. Upawasa melatih tubuh untuk melepaskan diri dari kebutuhan duniawi, sementara Jagran mengajarkan daya tahan fisik untuk tetap terjaga.
Pengendalian ini menguatkan tekad, kedisiplinan, dan komitmen seseorang terhadap tujuan spiritual. Secara fisiologis, kata dia, praktik ini juga menciptakan kesadaran penuh terhadap tubuh dan pikiran, yang menjadi dasar transformasi diri.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan ingin Orkemas berkontribusi pada masyarakat
Brata ini memberikan ruang untuk introspeksi mendalam terhadap dosa-dosa atau kesalahan yang telah diperbuat. Praktik Monabrata, yang melibatkan berdiam diri dan mengurangi aktivitas berbicara, mendorong individu untuk fokus pada pikiran dan batin. Dengan menenangkan pikiran, seseorang dapat merenungkan perbuatan masa lalu dan menyusun langkah untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
"Kisah Lubdaka dalam Lontar Lubdaka menjadi inspirasi penting dalam aspek ini. Lubdaka, meskipun seorang pemburu yang penuh dosa, mendapatkan pencerahan dan pengampunan karena niat tulusnya pada malam Siwalatri. Ini menunjukkan bahwa niat dan introspeksi mendalam dapat mengubah perjalanan hidup seseorang, berapapun besar kesalahannya," katanya.
Lebih jauh ia menjelaskan Siwalatri adalah momen untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, khususnya Dewa Siwa, sebagai simbol penghancur segala keburukan dan dosa.
Melalui Jagra, umat Hindu bermeditasi, melafalkan mantra, dan memusatkan pikiran pada kebesaran Siwa. Proses ini tidak hanya memperkuat hubungan individu dengan Tuhan, tetapi juga membuka kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Baca juga: STAHN Mpu Kuturan Singaraja siapkan ratusan beasiswa untuk mahasiswa baru
"Dalam konteks ini, transformasi spiritual bukan sekadar menghapus dosa, tetapi juga membangun kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari hukum kosmik (Rta). Dengan melaksanakan brata, seseorang belajar menghargai keteraturan alam dan menjalani kehidupan yang harmonis dengan nilai-nilai dharma," katanya.
Di tengah gaya hidup modern yang penuh kesibukan, Siwalatri memberikan kesempatan untuk berhenti sejenak, merenung, dan memperbaiki diri. Dalam kehidupan yang sering kali terjebak dalam rutinitas duniawi, praktik brata ini membantu individu untuk menyelaraskan kembali diri dengan tujuan spiritual.
"Transformasi yang dihasilkan melalui Siwalatri juga relevan dalam pengembangan karakter dan pengendalian diri. Praktik ini mengajarkan kedisiplinan, tanggung jawab, dan keikhlasan, yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam konteks spiritual maupun sosial," katanya.