Denpasar (Antara Bali) - Ahli kesehatan jiwa, Profesor Ni Luh Suryani SpJ, menyesalkan kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang memotong anggaran pemulihan kesehatan jiwa bagi ribuan warga Bali yang terganggu jiwanya.
Kepada ANTARA di Denpasar, Senin, dia menyatakan, "Semula anggarannya adalah Rp1 miliar, namun ternyata diumumkan bahwa jumlah itu dikurangi hingga 90 persen. Jelas kami kesulitan untuk meneruskan program pemulihan kesehatan jiwa warga Bali ini."
Menurut dia, di Bali saat ini terdapat paling tidak 7.000 pengidap gangguan jiwa berat yang kebanyakan sudah tergolong gila.
Tidak jarang orang gila itu harus dirantai, dikerangkeng, bahkan dipasung oleh keluarganya. Pemenjaraan anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa itu bisa berlangsung hampir seumur hidup mereka, dan kondisi tempat pementaraan itu bisa sangat jauh dari manusiawi.
Mereka dipasung keluarganya karena dinilai bisa mengganggu dan bahkan membahayakan keselamatan masyarakat di sekitarnya.
"Kebanyakan adalah keluarga miskin absolut. Untuk makan saja susah, apalagi berobat ke rumah sakit jiwa. Bayangkan, Bali sebagai ikon pariwisata dunia yang dikenal ramah penduduknya dan banyak turis membelanjakan dolarnya di sini, masih ada kebiasaan memasung orang gila seperti itu," katanya.
Dari jumlah sekitar 7.000 orang gila itu, yang bisa ditangani institusinya baru sekitar ratusan orang saja.
"Kami baru mampu menangani nol koma sekian persen saja. Di Kabupaten Karangasem, baru belasan. Hal ini karena biaya pembelian obat-obatan medis yang cukup mahal," katanya.
Sebagai misal, seorang penderita gangguan jiwa sedang menelan biaya sekitar Rp200.000 perbulan hanya untuk obat-obatan medisnya. Sedangkan yang lebih berat hingga Rp1,5 juta sebulan dengan tenggang waktu penyembuhan hampir setahun.
Suryani menerapkan satu metode terapi kejiwaan yang memadukan pemberian obat-obatan medis modern dengan rehabilitasi spiritual yang telah teruji secara klinis modern. Secara mudah, metode khas hipnoterapinya bekerja pada memori di dalam otak seseorang, yang akan disunting ulang agar bagian memori yang buruk bisa dikeluarkan dan ditata ulang.
"Tidak ada penghapusan memori dan memang seharusnya tidak boleh. Ini dipadu dengan langkah spiritual agar jatidiri orang itu bisa kembali seutuhnya dalam karunia Sang Pencipta," katanya.
Dia memiliki satu tim relawan yang kompak untuk melaksanakan program penyembuhan gangguan jiwa itu. "Kepada mereka, saya hati-hati sekali memberitahukan pemotongan anggaran ini agar mereka tidak patah semangat. Beberapa kawan saya di luar negeri bahkan bersedia menjadi donatur suka-rela, semacam 'bapak asuh', bagi pasien-pasien yang dijumpai," katanya.
Dia menyatakan, beberapa bulan lalu dia telah berdialog dengan Gubernur Bali, Made Pastika, untuk mencari pemecahan pemotongan anggaran ini. "Tetapi belum ada pemecahan. Terpaksa kami lebih selektif lagi untuk menyembuhkan pasien. Kasihan sekali mereka, tetapi bagaimana lagi?," katanya.
"Saya katakan, kesehatan manusia itu bukan cuma kesehatan fisik saja, melainkan juga rohani dan spiritual. Ini mungkin yang belum dipahami banyak orang. Raga ini membungkus pikiran dan spiritual yang ada dan semuanya harus seimbang," katanya.(*)