Denpasar (ANTARA) - Di tengah kemajuan teknologi digital, Pulau Bali masih setia dengan pariwisata berbasis budaya dan kearifan lokalnya.
Namun di tengah keadaan monoton itu, ada sekelompok anak muda usia 20 tahunan yang ingin mendayagunakan kemahiran mereka untuk menampilkan Bali melalui karya animasi. Mereka tidak ingin Bali berkembang dengan pariwisata yang itu-itu saja.
Setidaknya 15 anak muda yang berasal dari beragam sekolah kejuruan dan perguruan tinggi itu berkolaborasi dan menggagas sebuah seri animasi yang menceritakan kearifan lokal Bali.
Proyek pertama mereka diberi judul "Made & the Lost Spirit", sebuah kisah petualangan anak laki-laki yang berjuang mengembalikan keadaan desanya yang hancur karena ulah kala atau sosok makhluk jahat.
Dikisahkan, dalam perjalanan Made bertemu roh baik bernama Dharma yang berwujud barong. Ini terinspirasi dari cerita Rahina Galungan di Bali yang temanya kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan), begitu menurut animator sekaligus penggagas proyek Ida Bagus Ista Krishna.
Baca juga: SMK TI Bali Global bangkitkan budaya lewat animasi Panji Semirang
Dalam bangunan ruko sesak berukuran 6x6 meter, 15 anak muda itu bekerja siang malam untuk mewujudkan seri animasi ini.
Bukan jenis pekerjaan yang bisa dilalui dengan jalan pintas, memang. Sejak Februari hingga Juli, mereka baru sanggup menyelesaikan 2 menit cuplikan utuh animasi Made karena keterbatasan komputer. Mereka berkarya pun tanpa menerima gaji sepeser pun.
Mereka hanya mengandalkan kemahiran dalam menggarap animasi dengan peralatan teknologi seadanya.
Awalnya, Bagus Krishna berinisiatif membuat karya seri animasi Made dengan uang tabungannya. Karena tidak bisa bekerja sendirian, akhirnya ia mencari anak muda Bali di media sosial Instagram dengan latar belakang pendidikan terkait untuk diajak bergabung.
Idealnya untuk animasi berkualitas layar lebar diperlukan teknologi komputer seharga lebih dari Rp50 juta, sementara sekelompok pelajar ini hanya mengandalkan empat unit komputer tua dengan harga Rp8 juta bahkan dengan layar monitor tabung, selebihnya memanfaatkan gawai masing-masing.
“Kami ingin animasi ini jadi bukti bahwa dengan komputer harga Rp8 juta, dengan keahlian, kami bisa. Harapannya ke depan ada peranti yang lebih canggih, ... kami jamin kualitasnya dua kali lipat,” kata dia.
Berkali-kali terjadi gangguan pada alat mereka, bahkan resolusi harus diturunkan demi menyesuaikan kemampuan komputer. Apabila ada bantuan fasilitasi maupun pendanaan mereka dapat bekerja lebih baik dan cepat.
Sementara ini untuk mendukung biaya sewa ruko dan operasional, sekelompok anak muda Bali itu secara mandiri mengambil pekerjaan lepas.
Beberapa media televisi nasional dan rumah produksi mulai menghubungi mereka, namun belum satu pun investor melirik.
Ajaibnya, sepekan terakhir animasi "Made & the Lost Spirit" viral di media sosial. Sejumlah kreator konten dan tokoh publik Bali memuji karya mereka.
Optimisme mereka akhirnya makin membuncah. Pekan depan Krishna dan rekan-rekannya akan memulai penjajakan ke investor dengan salah satunya memanfaatkan ajang Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang akan mengumpulkan industri kreatif animasi di Malang.
Potensi industri kreatif animasi di Bali
Kemunculan seri animasi yang serius ini menjadi penanda Bali memiliki potensi besar selain dari sektor pariwisata. Jika laku, sebuah animasi dapat dibayar Rp150.000 untuk setiap detiknya.
Jika pariwisata yang selama ini maju di Bali dipengaruhi faktor budaya dan kearifan lokal yang menjual, maka animasi dengan latar belakang yang sama bukan hal yang tidak mungkin, apalagi pesaingnya belum banyak.
Begitu landasan belasan anak muda yang menyatukan diri mereka dalam LYS Animation Studio, di mana kisah Made berakar dari kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.
Budaya dan mitologi Bali yang kental dapat diangkat ke dalam cerita animasi, seperti halnya dilakukan studio animasi kelas dunia Disney dan Pixar.
Baca juga: Kemenperin tetapkan BDI Denpasar pusat ekosistem industri kreatif
Modal ini dimanfaatkan untuk menciptakan karakter Made yang menggunakan baju dengan motif barong, memakai kain bali, berbahasa Indonesia dengan logat Bali, didukung musik latar gamelan tradisional, dan pengaturan latar, serta properti yang menonjolkan suasana khas Pulau Dewata yang tidak asing lagi.
Perjalanan Made dan roh Dharma yang dikemas dalam 16 episode dengan masing-masing durasi 6 menit akan mengajarkan anak-anak untuk semangat, berjuang, mengutamakan sopan santun, dan mengedepankan kebaikan.
Idealnya, sebuah proyek animasi diisi oleh penata konsep, pembuat model, pembentuk tulang, penggerak, dan pengatur cahaya, serta alur.
Kelompok anak muda ini masih membutuhkan sumber daya manusia, sebab satu divisi semestinya diisi oleh sekurang-kurangnya empat orang.
Dengan berkembangnya industri kreatif animasi, akan lebih banyak lagi tenaga lulusan terkait yang mendapat pekerjaan sehingga hal ini juga menjadi potensi ekonomi jika mereka terserap.
Dinas Kebudayaan Bali juga senang mengetahui inisiatif anak muda mengangkat budaya lokal melalui teknologi animasi.
Dari catatan yang diungkap Kepala Disbud Bali I Gede Arya Sugiartha, selama ini belum ada yang serius mengembangkan potensi film berlatar mitologi sejarah, padahal Bali memiliki kisah khas yang disukai banyak orang.
Terbukti setiap kali Pesta Kesenian Bali yang berisi pertunjukan seni berkisah kearifan lokal dan sejarah, ditonton ribuan orang baik secara langsung maupun melalui kanal YouTube.
Ini membuktikan industri kreatif animasi bisa masuk dan mengambil hati pecinta Bali dengan jalur yang berbeda.
Pemerintah daerah juga mengakui keterbatasan mereka dalam mengembangkan teknologi digital sehingga kehadiran sekelompok anak muda ini--jika dibantu dan serius--maka turut menguntungkan Pemerintah.
Pemanfaatan audio visual mempermudah siapa saja, terutama bagi anak-anak, menyerap nilai baik dan mempelajari sejarah.
Pemerintah memastikan bakal merangkul potensi yang ada, baik lewat kegiatan edukatif maupun bertemu langsung dan mendengar keperluan yang dibutuhkan.
Proyek ini tidak dapat dibiarkan berjalan sendirian. Kemampuan dan semangat generasi muda tersebut perlu dukungan Pemerintah dan swasta, agar industri kreatif ini bisa berjalan sekaligus menciptakan nilai tambah ekonomi.
Editor: Achmad Zaenal M