Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Kegiatan ritual berskala besar yang disebut "Matiti Suara" dilakukan masyarakat Desa Adat (Pekraman) Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, secara rutin mengakhiri upacara Sasih Kadasa sekitar bulan Maret.
Tradisi yang melibatkan seluruh warga masyarakat mulai anak-anak, remaja, orang tua hingga lanjut usia, baik laki maupun perempuan itu, diyakini mampu meningkatkan kualitas dedikasi dan pengabdian (sradha dan bakti) kepada Ida Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Ungkapan "Sradha Bakti" itu diaplikasikan dalam bentuk kegiatan "Matiti Suara" yang kini semakin memperkuat keyakinan dan kepecayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga masyarakat termotivasi melakukan pekerjaan secara jujur, tulus ikhlas, penuh rasa tanggung jawab dan pengabdian yang tinggi, tutur Dr Drs Ida Bagus Rai Putra, M.Hum, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Fakultas Sastra Unud bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNP) Wilayah Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur melakukan penelitian dan pengkajian terhadap "Matiti Suara" kearifan lokal masyarakat di desa Batur Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.
Penelitian tersebut menekankan pada bentuk kekuatan yang memiliki fungsionalitas tinggi dalam kehidupan masyarakat setempat, Danau Batur, Gunung Batur, Pura Ulun Danu Batur, Pura Batur, upacara Ngusabha, dan tradisi "Matiti Suara" yang tidak bisa dipisah satu sama lainnya.
Tokoh masyarakat Desa Batur Jero Kraman Bedanginan senantiasa mengingatkan warga masyarakat (umat Hindu se-dharma) untuk senantiasa berbuat kebaikan (dharma) dan berjanji kepada diri sendiri hanya akan memakai kemampuan yang ada di dalam diri untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.
Tradisi "Matiti Suara" itu sarat dengan nilai-nilai pendidikan anti korupsi yang dapat menjauhkan masyarakat dari keinginan curang atau korupsi saat mendedikasikan pengabdian diri pribadi untuk kemuliaan orang banyak.
Hal itu penting untuk dapat dilestarikan dan dipelajari, sebagai salah satu kearifan lokal di Pulau Dewata itu dapat diangkat dan diapresiasi, saat bangsa Indonesia sedang menghadapi teror korupsi yang dilakukan oleh anak bangsanya sendiri.
Transparan
Kegiatan ritual berskala besar "Ngusaba Desa" yang melibatkan seluruh warga Desa Batur dilakukan dengan prinsip transparansi dan kejujuran dalam "Tradisi Matiti Suara"
Prinsip transparansi mengharuskan semua proses kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh publik. Transparansi menjadi pintu masuk, sekaligus konrtol bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan seluruh sektor kehidupan publik mensyaratkan.
Dalam tradisi "Matiti Suara" ada keharusan dari keterlibatan seluruh anggota masyarakat desa adat dalam melaksanakan segala bentuk aktivitas pembangunan dan ritual mulai dari proses penganggaran, penyusunan kegiatan hingga berakhirnya kegiatan itu.
Semua proses kebijaksanaan dilakukan secara terbuka dan jujur. Prinsip akuntabilitas dalam tradisi "Matiti Suara" menjadi pilar penting untuk mencegah terjadinya korupsi.
Prinsip tersebut menurut Ida Bagus Rai Putra pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah yang dilakukan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh sebab itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-perangkat pendukung, baik berupa peraturan maupun komitmen dan dukungan masyarakat.
Prinsip akuntabilitas telah dilakukan secara berkesinambungan dalam kehidupan krama desa Pakraman Batur, hal ini jelas terlihat dari agenda-agenda yang harus ditempuh untuk mewujudkan dalam mengelola keuangan.
Agenda yang dilakukan oleh tokoh masyarakat (prajuru desa) antara lain pelaporan dan pertanggungjawaban yang harus dilakukan sebelum upacara "Matiti Suara" dengan menekankan prinsip Kewajaran.
Hal itu penting sebagai upaya mencegah terjadinya manipulasi dalam penganggaran kegiatan pembangunan, maupun pembiayaan kegiatan ritual.
Demikian pula aturan main menjadi salah satu sarana dalam mengatur tata interaksi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, demi terujudnya suatu keadilan, kedamian, dan kebahagiaan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Aturan main anti korupsi itu bertujuan untuk mengendalikan dan mempersempit ruang gerak prilaku korupsi, karena tindakan korupsi akan berdampak negatif dan membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat serta dapat merusak nilai nilai moralitas.
Oleh karena itu korupsi perlu dikendalikan dan dikontrol oleh aturan main atau kebijakan yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi.
Dengan langkah-langkah kewajaran dalam seluruh aktivitas kegiatan yang dilaksanakan masyarakat desa Pakraman Batur, menjalarnya praktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan dapat ditekan dan dihindari.
Prinsip kewajaran yang dilakukan dalam tradisi "Matiti Suara" dapat mengarahkan aktivitas pembangunan dan ritual berjalan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama dalam rapat desa.
Nilai kejujuran
Tradisi "Matiti Suara" itu menjujung tinggi nilai kejujuran, yakni setiap kegiatan dan tingkah laku mengutamakan prilaku yang lurus hati, tidak berbohong, dan tidak curang.
Nilai nilai kejujuran dalam tradisi "Matiti Suara" dapat dilihat dari prilaku kelompok kerja dalam melaksanakan tugasnya masing masing. Para Jero Pakraman Paduluan (petugas piket desa) yang bertugas melaksanakan tugas desa dalam berbagai aspek kehidupan, terutama berkaitan dengan ritual keagamaan melaksanakan tugasnya secara jujur dan tulus ikhlas.
Tugas yang diemban dimaknai sebagai suatu kewajiban yang diwariskan oleh leluhur yang mentradisi dari zaman lampau. Menurut penuturan tokoh Jero Gede Alitan (Pinisepuh Pura Batur), bahwa nilai kejujuran yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Batur adalah dilandasi oleh nilai ajaran agama Hindu yaitu ajaran Tri Kaya Pari Sudha (berpikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik).
Dalam ajaran catur Purusa Artha juga mengajarkan berprilaku jujur dalam mencari artha (kekayaan), untuk mendapatkan artha maka seseorang harus mendapatkannya dengan jalan dharma (jalan yang benar dan jujur).
Jika harta (kekayaan) didapat dengan jalan menyimpang dari dharma maka sebenarnya seseorang yang demikian telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan dosa.
Nilai kejujuran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Batur Kintamani juga dilandasi dengan kepercayaan akan Hukum Karma Phala, bahwa semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dharma akan mendapatkan hasil yang setimpal, walaupun tidak kelihatan pada kehidupannya secara empiris saat ini, tapi biasa akan mendapatkan hukuman pada kehidupannya yang akan datang.
Mengingat tradisi "Matiti Suara", sarat dengan nilai-nilai pendidikan antikorupsi yang dapat menjauhkan masyarakatnya dari keinginan curang saat mendedikasikan pengabdiannya dapat diterapkan dalam lingkungan yang lebih luas, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, harap Ida Bagus Rai Putra. (LHS/T007)
Matiti Suara, Penuh Makna Antikorupsi
Sabtu, 2 Februari 2013 14:18 WIB