Denpasar (ANTARA) - Umat Hindu di Indonesia terkenal akan pelaksanaan tradisi keagamaannya yang beragam, salah satunya yakni Hari Raya Saraswati.
Hari Raya Saraswati terdapat dalam Lontar Sundarigama yang menjelaskan bahwa hari raya tersebut diperingati setiap 210 hari sekali pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung, yang menandakan turunnya ilmu pengetahuan sebagai penuntun umat manusia ke jalan kebenaran.
Pada tahun 2023 ini, Hari Raya Saraswati akan jatuh pada Sabtu, 20 Mei besok dan Sabtu, 16 Desember mendatang.
Ilmu pengetahuan ini identik dengan Dewi Saraswati yang dilambangkan dengan wanita berparas indah nan menawan.
I Gde Made Metera selaku Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Buleleng menjelaskan bahwa Dewi Saraswati merupakan salah satu dari tiga dewi penting dalam agama Hindu.
Dewi Saraswati dalam kitab suci Weda memiliki kedudukan yang penting di samping kedua dewi lainnya, yakni Dewi Sri sebagai Sakti dari Dewa Wisnu dan Dewi Durga sebagai Sakti dari Dewa Siwa. Dewi Saraswati merupakan Sakti dari Dewa Brahma yang melambangkan pengetahuan.
Dewa Brahma sebagai dewa pencipta alam semesta memerlukan pendamping Dewi Saraswati sebagai Dewi Pengetahuan karena setiap proses penciptaan memerlukan ilmu pengetahuan yang suci.
Makna Saraswati
Saraswati berasal dari dua kata, yakni “saras” yang bermakna mengalir layaknya air dan “wati” berarti memiliki. Maka, Saraswati berarti hal yang mengalir dalam kehidupan.
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan selalu hadir di setiap kehidupan. Tanpa mengenal usia, tanpa mengenal jenis kelamin, dan tanpa mengenal perbedaan lainnya.
Salah satu akademikus pendidikan karakter berbasis agama Hindu di Universitas Pendidikan Ganesha, I Nyoman Hari Mukti Dananjaya, M.Ag, mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya turun setiap 210 hari sekali. Walakin, setiap hari manusia wajib untuk menggalinya.
Perayaan Hari Saraswati adalah sebagai penanda dan wujud penghormatan bahwa ilmu pengetahuan adalah berkat dari Tuhan yang amat suci.
Momentum Hari Saraswati adalah sebagai pengingat dalam diri manusia bahwa pengetahuan tidak akan pernah lepas dari kehidupan.
Oleh karena itu, manusia wajib menghormati ilmu pengetahuan karena apa pun yang dilakukan di dunia ini, memiliki proses untuk mencapai pengetahuan. Ini sebabnya manusia harus mengapresiasi dan mencintai ilmu pengetahuan tersebut.
Wujud Dewi Saraswati
Perwujudan Dewi Saraswati dalam agama Hindu dilambangkan dengan wanita cantik yang memiliki empat lengan, yang setiap lengannya membawa atribut-atribut tertentu.
Hari Mukti menjelaskan bahwa setiap atribut yang dibawa oleh sang Dewi memiliki maknanya tersendiri.
Lengan pertama membawa genitri yang melambangkan pengetahuan yang tidak terbatas dan tidak akan habis, karena pengetahuan akan selalu berkembang.
Selain itu, menurut Hari Mukti fungsi genitri melambangkan sikap pengendalian pikiran dalam umat Hindu.
Kalau dilihat dari fungsi genitri ini, umat Hindu setiap bermeditasi biasanya menggunakan genitri sebagai lambang menurunkan ego dan mengendalikan pikiran.
Lengan kedua Saraswati membawa keropak atau buku sebagai pustaka suci yang melambangkan bahwa pengetahuan hendaknya dituliskan dan disebarkan kepada generasi selanjutnya.
Lengan ketiga, membawa wina sebagai nada dalam kehidupan yang dapat diartikan pula sebagai pengingat bahwa sebagai manusia yang memiliki akal dan budi, yang dapat belajar tidak hanya dengan satu sumber saja tapi harus dari berbagai sumber.
Terakhir, lengan Saraswati membawa bunga teratai yang melambangkan kesucian ilmu pengetahuan. Meskipun bunga tersebut hidup di kubangan lumpur, ia tetap mekar dengan indah. Ini menandakan bahwa pengetahuan dapat memperbaiki diri manusia.
Selain memiliki empat lengan, wujud Dewi Saraswati yang menawan melambangkan ilmu pengetahuan, itu sangat menarik untuk dipelajari.
Selain cantiknya sang Dewi, ia juga memiliki angsa yang melambangkan ilmu pengetahuan, yang harus dapat dipilah dan dipilih dengan baik. Adapun burung merak yang melambangkan kewibawaan dan keanggunan.
Mitos
Selain perayaan Saraswati yang sarat akan makna, terdapat pula mitos yang beredar pada masyarakat yang berisi bahwa ketika Hari Raya Saraswati telah tiba, orang-orang tidak diperkenankan untuk belajar atau membuka buku.
Dalam Lontar Sundarigama memang terdapat penjelasan bahwa pada saat Hari Saraswati berlangsung, dikatakan tidak boleh belajar karena pada hari itu hanya digunakan untuk mengupacarai sumber pengetahuan seperti buku atau lontar.
Itu memang benar, namun perlu dijelaskan lebih mendalam lagi bahwa Lontar Sundarigama menyatakan bahwa Hari Suci Saraswati dilakukan setengah hari, yakni dari pukul 6 pagi sampai pukul 12 siang.
"Jadi kita tidak boleh belajar sampai pukul 12 siang saja. Pada saat malam hari kita dianjurkan untuk rembug sastra dengan guru untuk menerima pengetahuan dan meminimalisasi salah tafsir karena belajar sendiri,” ungkap Hari Mukti.
Melalui hal ini, masyarakat diharapkan untuk senantiasa bersukacita dan melaksanakan pemujaan dengan hati yang tulus dan murni untuk memohon rahmat sang dewi pengetahuan atau Sang Hyang Aji Saraswati.
Penuturan tersebut berisi tentang hal-hal apa saja yang dapat dilakukan ketika merayakan Hari Saraswati, yakni dengan membersihkan berbagai sumber ilmu seperti buku, lontar, alat tulis, dan lain sebagainya.
Setelah itu beberapa sumber pengetahuan dapat disusun dengan rapi dan dapat diletakkan sesajen seperti “canang sari” ataupun banten khusus Saraswati di atasnya.
Hari raya ini berpatokan dengan Lontar Sundarigama yang dikatakan bahwa banten atau sesaji yang wajib ada dalam perayaan ini adalah peras, suci, daksina, penek, ajuman, sesayut Saraswati, sagara gunung, perangkatan putih kuning, canang wangi, dan daging itik. Banten lainnya dapat ditambahkan sesuai kemampuan dan yang terpenting adalah niat dan ketulusan.
Jika semua kebutuhan persembahyangan sudah terpenuhi, dilanjutkan dengan melakukan persembahyangan dengan melantunkan mantra khusus Saraswati. Sehari setelah hari raya ini, umat Hindu akan melakukan tradisi Banyupinaruh dengan datang pada pagi hari sebelum Matahari terbit ke sumber-sumber air terdekat seperti pantai, sungai, dan sumber mata air lainnya untuk menyucikan diri.
Pelaksanaan Hari Raya Saraswati tidak hanya dilakukan oleh para siswa namun semua kalangan masyarakat Hindu. Ini menandakan bahwa sebagai manusia yang dilahirkan dengan derajat yang lebih tinggi dari hewan, tumbuhan, dan makhluk dunia bawah seperti “bhuta kala”, memiliki pengetahuan tinggi yang harus selalu diasah.
Hari Saraswati tidak hanya diperingati setiap enam bulan sekali karena manusia harus mampu merealisasikan diri hari suci ini dengan mengamalkan ilmu pengetahuan dengan bersungguh-sungguh.
Bahkan peringatan Hari Saraswati tidak hanya dilakukan oleh warga Hindu di Bali maupun Indonesia, tetapi juga dilakukan oleh warga Hindu di negara lain seperti Jepang, Jerman, Belgia, Belanda, India, dan Amerika Serikat dengan cara perayaan yang sesuai dengan kebudayaan setempat.