“Total kebutuhan net zero emission (NZE) 2060 itu hampir tujuh kali lipat dibandingkan NDC 2030. Jadi secara total kebutuhannya Rp28.233 triliun,” katanya pada Webinar bertajuk Tantangan Sektor Kelistrikan dalam Transisi Energi di Jakarta, Kamis.
Joko menuturkan jumlah tersebut merupakan tujuh kali lipat dari kebutuhan Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 yang sebesar Rp3.779 triliun.
Oleh sebab itu, ia mengatakan pemerintah membutuhkan dukungan pendanaan melalui investasi baik dari sisi downstream, midstream dan upstream agar target NZE 2060 dapat tercapai.
Berdasarkan peran kebutuhan investasi sebesar Rp28.233 triliun tersebut, secara rinci ditujukan untuk sektor agrikultur Rp1,44 triliun dan kehutanan Rp70,14 triliun.
Kemudian juga untuk energi dan transportasi Rp26.601 triliun, Industrial Process and Product Use (IPPU) Rp730,8 triliun serta limbah Rp828,83 triliun.
Baca juga: Guru Besar Unud: Keliru, kebijakan PLN batasi kapasitas PLTS atap
Sementara kebutuhan NDC 2030 sebesar Rp3.779 triliun meliputi sektor agrikultur Rp4,04 triliun, kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,92 triliun serta limbah Rp185,27 triliun.
Joko menegaskan investasi baik dari sisi downstream, midstream dan upstream sangat dibutuhkan mengingat kapasitas pendanaan dari pemerintah sangat terbatas.
Pemerintah sendiri telah melakukan penandaan anggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim atau climate budget tagging melalui anggaran pendapatan belanja (APBN) sejak 2016.
Di sisi lain, upaya pemerintah melalui climate budget tagging hanya mampu memenuhi 34 persen dari 100 persen kebutuhan setiap tahun sehingga terdapat gap mencapai 66 persen.
“Makanya pencapaian NDC 2030 dan NZE 2060 itu bukan hanya tanggung Jawab pemerintah semata tapi juga para pengusaha dan masyarakat,” tegas Joko.
Baca juga: PLN Bali bantu pelaku usaha beralih ke energi bersih
Komitmen
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan Indonesia berkomitmen untuk memprioritaskan transisi energi bersih. Terdapat tiga hal yang dibutuhkan dalam mekanisme transisi energi. Pertama, pembiayaan untuk penghentian lebih cepat operasional pembangkit tenaga listrik batu bara agar beralih ke sumber energi terbarukan. Untuk hal ini, Menkeu mengungkapkan telah berdiskusi dengan seluruh dunia usaha, baik itu para penambang maupun pengusaha pembangkit listrik berbasis batubara.
“Kami sudah melakukan percakapan dengan semua pembangkit listrik yang berbasis batu bara. Sejauh ini, menurut saya diskusi berjalan dengan baik dalam memberikan pemahaman sekaligus bagaimana kita akan merancang kebijakan bersama,” kata Menkeu.
Kedua, dibutuhkan pendanaan untuk membangun energi baru terbarukan karena permintaan akan terus bertambah. Menkeu menekankan perlunya pendanaan, baik domestik maupun global, untuk membantu APBN mencapai target tersebut.
“Pendanaan menjadi penting karena Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mengakselerasi transisi energi dari yang berkarbon tinggi menuju energi yang lebih bersih,” ujar Menkeu.
Ketiga, mekanisme transisi energi perlu memperhatikan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya karena akan berdampak pada kehilangan pendapatan. Dengan begitu, transisi energi bersih akan dapat dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.