Oleh I Ketut Sutika
Tumpek Wayang, hari baik dalam kelender Bali untuk melaksanakan kegiatan ritual, bermakna menghormati wayang kulit agar tetap mempunyai Taksu (kharisma), sesuai watak dalam pementasan.
Dalang wayang kulit di Bali pada hari baik itu wajib melaksanakan upacara dengan menghaturkan bebantenan (rangkaian janur), ibarat memperingati hari kelahiran yang dilakukan setiap 210 hari sekali.
Menjelang Tumpek wayang, para dalang wayang kulit di Bali umumnya banyak mendapat pesanan pentas, dalam kaitan untuk kelengkapan pelaksanaan upacara keagamaan seperti yang dilakoni I Wayan Sarga (60), pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali 31 Desember 1952.
Kehidupan sosok pria sederhana itu tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia remaja.
Suami dari Ni Wayan Suani itu memiliki keahlian khusus memainkan instrumen gender untuk mengiringi pementasan wayang kulit. Keahlian yang dimilikinya itu belajar dari sejumlah gurunya di daerah gudang seni di Bali dengan penuh semangat selama hampir lima tahun itu, akhirnya mampu membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
Sosok pria yang akrab disapa Sarga sejak usia 25 tahun telah mematangkan kemampuannya sebagai seniman gender wayang kulit. Proses berkesenian yang digeluti pria yang masih sehat bugar di usia senja itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual.
Ayah dari dua putra-putri itu mengaku, menekuni profesi gender wayang kulit sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual.
Dalam pementasan mengiringi dalang Wayan Nartha itu, justru pernah mengeluarkan dana untuk biaya transportasi, karena dalam pementasan di pura-pura besar (Sad Khayangan) sama sekali tidak menerima imbalan.
Sebelumnya telah mempersiapkan diri dengan matang, terus belajar dan tidak pernah jeda melakukan aktivitas bermain gender wayang, baik untuk ngayah maupun bersifat komersial.
Dalam pagelaran itu menampilkan lakon antara lain Mahaberata, Ramayana, cupak dan Gambuh. Pementasan yang pernah dilakukan selain di Bali, juga sampai ke Jawa dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tidak gaduh
Sosok Wayan Sarga, belajar sejak tahun 1966 termasuk cara menebuh gender agar tidak gaduh dan memiliki pengalaman untuk mengiringi beberapa pementasan dalang I Nyoman Grayam, Nyoman Jaya, Ketut Madra, Wayan Nartha dan Wayan Mardika.
Ayah dari I Wayan Nova dan Made Juliana itu juga dengan senang hati mengajar gender kepada sekaa wayang di Kabupaten Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung, Denpasar dan Tabanan, sehingga banyak mempunyai anak didik yang sanggup melanjutkan dan melestarikan gender wayang.
Selain itu juga pernah mengajar mahasiswa dari Jepang dan Amerika Serikat untuk memaninkan instrumenm musik gender wayang. Mahasiswa datang secara silit berganti hingga totalnya tidak kurang dari 25 orang.
Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa putusasa, sosok I Wayan Sarga mendapat anugrah Seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali.
Penghargaan berupa satya lencana emas 20 gram dan uang tunai sebesar Rp8 juta diserahkan Wakil Gubernur Bali Drs AAN Puspayoga pada puncak HUT-54 Pemprov Bali, 14 Agustus 2012.
Ia merupakan salah seorang dari 14 seniman dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali yang sebelumnya dinyatakan lolos seleksi oleh satu tim yang keanggotannya dari instansi terkait, tutur Kepala Seksi Perfilman dan Perizinan pada Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan Dauh.
Pemberian penghargaan tertinggi dalam bidang seni itu mampu menumbuhkan daya kreativitas masyarakat, khususnya seniman dan budayawan untuk lebih memacu prestasi dalam bidang seni, yang pada gilirannya berdampak positif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.(LHS/IGT)
Wayan Sarga Seniman Gender Peduli Kader
Selasa, 21 Agustus 2012 19:18 WIB