Gianyar (ANTARA) - Budayawan dan maestro seni dari Bali Prof Dr I Wayan Dibia menerima anugerah penghargaan seni "Padma Shri Award 2021" dari Pemerintah India yang merupakan salah satu penghargaan seni tertinggi dari pemerintah setempat.
"Padma Shri adalah penghargaan untuk bidang seni, penghargaan keempat tertinggi dari 11 penghargaan Pemerintah India," kata Prof Dibia di Gianyar, Senin.
Untuk Indonesia, baru tiga tokoh yang mendapatkan penghargaan Padma Shri dari Pemerintah India yakni pematung Nyoman Nuarta dan Agus Indra Udayana yang sekarang telah menjadi seorang sulinggih (pendeta Hindu), kemudian Prof Wayan Dibia menerima penghargaan di bidang kesenian.
"Awalnya sempat diinfokan pihak kedutaan bahwa saya mendapat Padma Shri dari Pemerintah India lewat telepon saja, namun saya belum berani meyakini kebenarannya. Setelah mendapat surat resmi tertanggal 11 Februari 2021, saya merasa kaget ternyata saya mendapat Padma Shri," ujar budayawan asal Singapadu, Kabupaten Gianyar itu.
Baca juga: Wakil Rektor UI : Seni budaya bisa wujudkan rasa toleransi
Rencananya penyerahan penghargaan akan dilakukan akhir tahun ini di India dan langsung diserahkan oleh Presiden India.
Pencipta puluhan karya seni tari dan aktif menulis buku seni ini mengaku penghargaan ini menjadi tantangan tersendiri bagi dirinya.
"Dengan penghargaan ini bagi saya suatu tantangan untuk mendedikasi kemampuan dibidang seni, kalau dilihat kekaryaan saya memang sering mengambil lakon cerita Mahabaratha dan Ramayana," ujarnya.
Dibia menuturkan, kebetulan pertama kali berkarya sejak tahun 1971, berupa prembon, mengambil kisah Gatot Kaca Sraya, dan dilihat garapan itu, otomatis memperkuat posisi sastra maha agung India di kalangan itu mulai dikenal masyarakat Bali melalui seni pertunjukan.
Selanjutnya, tahun 1972, baru mulai garapan kecak gugurnya Prabu Drestaratha. Murni menggarap seni dalam wujud kecak yang isinya banyak mengangkat epik India. Banyak lagi, karya-karya yang bernuansakan epos Ramayana dan Mahabarata.
Baca juga: Menparekraf dukung seniman tetap berkarya di tengah COVID-19 (video)
"Tahun 1969, pertama kali saya tampil menari di India dengan menarikan Hanoman, dan terakhir saya menarikan Hanoman 2013. Kemudian muncul kolaborasi karya body cak, juga mengangkat Ramayana, dimana mengisahkan Sugriwa perang, kolaborasi Kaliyudha, melibatkan penari Cak Rina, juga penulis sastra Gunawan Muhamad tentang Ramayana," ucapnya.
Kemudian 2016, dengan garapan Lata di Toronto, kemudian bersama San Pradaya, dengan garapan seni berjudul Pralaya yaitu sebuah pementasan seni teater tari, dimana cerita itu tidak saja digerakan juga diucapkan dan cerita yang diangkat juga kembali mengisahkan Mahabarata. Pokok tari baratanatya (India) dan tari klasik Bali.
"Ketika ditampilkan di Kanada dan di India, ternyata dua budaya Bali-India masih bisa berdialog dan secara politik, ada jembatan yang terjalin, bahkan ahli ahli India memberi respons positif," ucapnya.
Wayan Dibia memperkirakan bahwa kiprahnya dalam menjalin karya seni antara dua budaya ini menjadi dasar pertimbangan pemerintah memberi penghargaan seni tertinggi. "Bagi saya tentu bukan kemenangan pribadi melainkan menjadikan penghargaan ini sekaligus pengakuan kepada seniman Bali," ucapnya.
Guru Besar ISI Denpasar itu berharap seniman di Bali senantiasa merancang karya-karya baru. Sisi positifnya memberikan motivasi dari aktivitas berkesenian bagi seniman di Bali dan untuk mencapai kualitas dalam berkarya.