Denpasar (ANTARA) - Budayawan Bali Prof Dr I Wayan Dibia mengangkat peristiwa dan berbagai fenomena seni serta kritik sosial melalui karya sastra berbentuk buku antologi puisi berjudul Jala Jalan dan novel Bintang Panggung.
"Saya berharap tulisan-tulisan yang berbau puisi ini bisa merangsang generasi muda untuk membacanya," kata Prof Dibia di Denpasar, Sabtu.
Sejak aktif menulis dari tahun 1978, hingga saat ini mantan Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar ini telah menghasilkan 58 buku.
"Sebuah budaya menulis, yang sejak lama saya bangun, berawal dari membuat naskah sendratari, naskah topeng maupun karya seni lainnya. Hal itu banyak membantu saya dalam membuat alur cerita novel maupun penulisan puisi," ujarnya.
Karya sastra Prof Dibia yang teranyar yakni antologi puisi Jala Jalan dan novel Bintang Panggung telah dibedah dalam acara bedah buku menghadirkan dua pembahas yaitu Tommy F Auwy dan Prof Dr I Nyoman Darma Putra di Wantilan, Taman Budaya Bali, Denpasar.
"Ketika ingin membicarakan seni khususnya tari, maka tidak saja an sich ngomongin tari saja, tetapi saya juga mencoba membuatnya dengan nuansa sastra, sehingga orang yang membaca dapat dua-duanya. Informasi tari, pengertian tentang tari serta estetika sekaligus mendapatkan nuansa sastranya juga," katanya.
Menurut dia, menulis buku seni merupakan upaya yang dibangun supaya ada pola penulisan berbeda dengan yang sudah biasa.
"Nanti dalam puisi saya berjudul puisi kecak atau Kumpicak (Kumpulan Puisi Kecak), orang yang baca nanti akan mengerti tentang kecak, sejarahnya, penyebarannya, dan sebagainya," ujar budayawan yang mengaku kebiasaan setiap pagi mulai pukul 05.00 Wita menulis satu sampai tiga halaman.
Terkait kritik dan kepedulian sosial, Guru Besar ISI Denpasar ini mengatakan ada yang terinspirasi ketika ia berjalan-jalan.
"Seperti saat di Lampung, saya jalan-jalan ingin melihat suasana sosial orang Bali di sana. Ada yang secara terbuka menunjukkan identitas Bali-nya, ada yang agak sembunyi-sembunyi karena dia berada di daerah mayoritas agama lain," ucap Dibia.
Kemudian ketika berjalan-jalan di kawasan Renon, Kota Denpasar, ia melihat ada pedagang yang dikejar-kejar aparat penertiban umum (Satpol PP), padahal orang itu orang yang cari makan, anaknya masih kecil. "Ini yang saya tangkap. Saya bukan sekadar santai berjalan-jalan tetapi sekaligus melihat realitas yang ada di sana," katanya.
Sementara itu, Tommy F Auwy menyinggung keterkaitan proses kreatif yang dilakukan Prof Dibia adalah adanya kegaduhan terkait memudarnya taksu yang bermakna sesuatu yang menghidupkan.
Tommy berpandangan tari Bali sekarang sudah kehilangan taksu. Taksu ditutupi teknik, padahal taksu melampaui teknik.
"Kegelisahan Prof Dibia soal taksu, kesenian kita kalau tidak mati ya mundur. Kenapa ini ditulis karena kegelisahan Prof Dibia soal taksu para penari. Ini sebuah kritik dengan sastra yang enak dibaca. Isinya sangat mengalir dan mengalun seperti halnya tarian," katanya.
Sedangkan pembahas lainnya, Prof Darma Putra menyampaikan bahwa kumpulan puisi berjudul Jala Jalan ini melukiskan hidup ini, yaitu perjalanan, dan perjalanan itu adalah kehidupan.
"Saya sering memergoki Prof Dibia ketika jalan di Renon, Sanur. Memang terlihat sederhana, yang ditulis tidak saja olahraga di Renon, tetapi juga isi kepedulian sosial ketika seorang ibu berjualan sambil mengasuh anak, tiba-tiba ada Satpol PP," kata Darma Putra.
"Tugas kita membangun dialog dan memberikan makna lebih jauh, semua puisi dalam buku Jala Jalan mengandung kata 'jalan' ini mengandung dan melahirkan banyak imajinasi," katanya.