"Ke depannya ini jadi tantangan tersendiri karena ada persoalan TPA yang overload, trus mau dikemanakan sampah di Bali. Jadi pemda setempat perlu memperhatikan masa pakainya," kata Kasubdit Barang dan Kemasan Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ujang Solihin Sidik saat ditemui di Denpasar, Bali, Kamis.
Ia mengatakan salah satu strategi yang dilakukan untuk mulai mengantisipasi dampak negatif TPA yang overload yaitu memutus dari sumbernya.
"Enggak semua sampah harus ke TPA, karena suatu saat itu akan jadi 'bom waktu' karena TPA itu ada masa pakainya," ucap Ujang.
Dikatakannya, dari sisi teknis kondisi TPA untuk wilayah Bali bisa dikatakan sudah habis masa pakainya kecuali dibuka lahan baru.
"Kondisi TPA yang melebihi kapasitas ini didominasi oleh kemasan plastik," katanya setelah mengunjungi salah satu tempat pengepulan botol plastik.
Ia mengatakan bahwa tercatat dalam satu bulan bisa mendapatkan 60 sampai 80 ton botol plastik.
Ia mengatakan bahwa tercatat dalam satu bulan bisa mendapatkan 60 sampai 80 ton botol plastik.
Sehingga melalui Permen KLHK No. P75/2019 para produsen ditarget sampai di tahun 2029 untuk menarik kemasan sebesar 30 persen dari seluruh produk yang dihasilkan.
Ia mengatakan bahwa para produsen diwajibkan menarik kembali kemasan untuk didaur ulang atau diguna ulang, untuk mengurangi produksi sampah plastik.
Jika pada waktu yang telah ditentukan tersebut tidak terpenuhi, maka ada konsekuensi yang harus dijalani. Namun, Ujang mengatakan bahwa sanksi menjadi pilihan terakhir dan semuanya sedang berproses saat ini.
"Ini kan baru mulai, mengawali proses penarikan kemasan, kalau atau temuan (melanggar) ya sanksinya semacam pemberian surat peringatan, dan diumumkan ke publik ini loh perusahaan-perusahaan yang tidak taat," katanya.
Menurut Data KLHK, pada 2020 tingkat daur ulang plastik di Indonesia masih 10 persen. Rendahnya tingkat daur ulang tersebut terjadi karena tingkat collection rate plastik juga rendah.
Sementara Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) pada 2020 tingkat collection rate plastik hanya 36,4 persen, jauh dibandingkan capaian negara negara Asia Tenggara lain, yang rata-rata di atas 70 persen.
Kondisi itu terjadi karena mayoritas pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan menggunakan pola linear yaitu, kumpul-angkut- buang (di TPA).
Namun, untuk Indonesia bebas sampah pada 2025, maka pola linear harus ditinggalkan dan diganti dengan pola circular yakni, pilah, kumpulkan, ciptakan sumber daya, masukan ke rantai daur ulang, dan “sulap” bahan baku itu menjadi produk baru. Serta hanya residu yang dibuang ke TPA.