Denpasar (ANTARA) - Akademisi sekaligus pengamat lingkungan Ketut Gede Dharma Putra menilai penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen dalam hal pengolahan sampah kemasan di Bali masih belum maksimal.
Dalam diskusi yang digelar Yayasan Tri Hita Karana di Denpasar, Rabu, Gede Dharma bersama Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Denpasar dan Badung membahas peran-peran perusahaan produsen yang kemasannya menghasilkan sampah, hingga upaya penanganan sampah dari hulu.
"Undang-undang pengelolaan sampah sudah berjalan 15 tahun, ini belum maksimal, tapi harus jujur mengatakan beberapa merek terutama internasional sudah melakukan itu (EPR), namun seharusnya terpisah dengan CSR. Di daerah padat perusahaan bisa memberi anggaran semacam hibah untuk mengelola sampah," kata dia.
Menurutnya, apabila perusahaan produsen sampah kemasan bergabung dan menaati amanah UU No 18 tahun 2008, maka akan tercipta anggaran yang besar untuk diberikan ke daerah, sehingga dapat dilakukan kegiatan untuk pengelolaan sampah yang mereka hasilkan.
Pejabat Fungsional Penyuluh Lingkungan Hidup Ahli Madya Kabupaten Badung Nengah Sukarta juga mengakui bahwa sejumlah perusahaan melakukan kerja sama untuk mengolah sampah kemasan.
"Nanti kita dorong yang sudah kerja sama ini, kita dorong perusahaan lain penghasil kemasan agar juga bertanggung jawab, ini sudah berjalan tapi belum maksimal," katanya dalam diskusi bertajuk Penerapan Extended Producer Responsibility dalam penanganan sampah kemasan di Bali, terlaksana atau tidak?.
Sukarta menjelaskan, di Kabupaten Badung, sampah kemasan yang telah dikumpulkan akan diserahkan ke Eco Bali, begitu pula di TPST Samtaku, Jimbaran, di mana sampah organik akan menjadi RDF dan sampah plastik dipress dan di kirim ke pengelola sampah plastik.
Ia menyarankan agar masyarakat di hulu turut dalam aksi ini dengan memilah sampah kemasan dari rumah, karena ketika diolah di hilir maka memerlukan biaya mahal, teknologi besar, dan banyak tenaga kerja.
Sukarta menyadari kerap yang terjadi adalah sampah yang sudah dipilah warga akhirnya tergabung ketika dikirim ke tempat pembuangan, maka itu Pemkab Karangasem membagi peran.
"Sesuai keputusan bupati, peran rumah tangga di mana, desa di mana, dan pemerintah di mana, kalau sudah ada pemilahan di rumah tangga, desa harus mengatur jadwal hari dan jam pengambilan sampah organik dan kapan anorganik sehingga bersinergi," ujarnya.
Sementara itu di Denpasar, DLHK Denpasar mengarahkan masyarakat agar memilah sampah dan mengumpulkan sampah di bank sampah, dan untuk sampah anorganik dapat diolah menjadi kompos di rumah masing-masing.
"Pemkot Denpasar akan membuat regulasi mewajibkan warga memilah sampahnya di sumber, sampah organik dan anorganik. Yang anorganiknya kan sudah ada bank sampah di desa, banjar, sekolah, nanti diteruskan ke pengepul, larinya ke produsen yang dikoordinir Bali PET Collection," tuturnya.
Yayasan Tri Hita Karana yang diketuai I Gusti Ngurah Wisnu Wardana dalam kegiatan tersebut turut membeberkan data hasil audit merek sampah kemasan botol plastik yang terkumpul di Bali PET Collection dan TPST Samtaku, Jimbaran.
"Hasil audit menunjukkan, botol plastik Polyethylene Terephthalate (PET) Danone, Mayora dan Coca-Cola menduduki posisi tiga besar atau top 3 sampah kemasan yang terkumpul di Bali PET Collection Center dan TPST Samtaku, Jimbaran," ungkapnya.
Penerapan EPR untuk pengolahan sampah kemasan di Bali masih belum maksimal
Rabu, 15 Maret 2023 18:06 WIB