Jakarta (ANTARA) - Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan makna jihad dan model kepemimpinan khilafah berdasarkan hasil ijtimak ulama yang berlangsung tiga hari di Jakarta.
Dalam konferensi pers yang dipantau via daring dari Jakarta, Kamis, Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Soleh mengemukakan bahwa MUI menolak pandangan yang sengaja mengaburkan makna jihad, namun juga menolak jihad hanya dimaknai sebagai perang.
Niam menjelaskan bahwa dalam situasi damai, jihad dilakukan dengan cara berupaya sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah SWT dengan aktivitas kebaikan dan perbaikan.
"Dalam situasi perang, jihad juga masih relevan dalam konteks NKRI dengan mengangkat senjata untuk mempertahankan kedaulatan negara," katanya.
Baca juga: Radikalisme muncul karena kurang mengkaji soal jihad
Mengenai khilafah, Niam menekankan bahwa khilafah bukanlah satu-satunya model kepemimpinan dalam Islam.
Ia menjelaskan, model kepemimpinan dalam Islam juga mencakup model kerajaan, kesultanan, dan republik sebagaimana yang diterapkan di Indonesia.
Ijtimak Ulama Komisi Fatwa MUI yang berlangsung tiga hari di Jakarta membahas 17 masalah, termasuk masalah jihad dan khilafah, kriteria penodaan agama, serta tinjauan mengenai pajak, bea cukai, dan retribusi.
Selain itu, para ulama membahas masalah pemilihan umum, distribusi lahan untuk pemerataan dan kesejahteraan, hukum mata uang crypto, hukum akad pernikahan via daring, dan hukum layanan pinjaman daring.
Kripto Haram
Selain itu, Hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengharamkan penggunaan kripto atau cryptocurrency sebagai mata uang dan tidak sah diperdagangkan.
Baca juga: Uang kripto bangkit kembali usai tindakan keras China
Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Soleh mengatakan terdapat tiga diktum hukum yang menerangkan bahwa kripto diharamkan sebagai mata uang.
Hasil musyawarah ulama menetapkan bahwa penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena mengandung gharar dan dharar dan bertentangan dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015.
Selanjutnya, cryptocurrency sebagai komoditi atau aset digital juga tidak sah diperjualbelikan karena mengandung gharar, dharar, qimar. "Dan tidak memenuhi syarat sil'ah secara syar’i, yaitu ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli," kata Niam.
Namun untuk jenis kripto sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai sil'ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas, kata Niam, sah untuk diperjualbelikan.
Hingga saat ini pemerintah Indonesia juga tidak mengakui kripto untuk menjadi alat bayar sebagai alternatif penggunaan rupiah. Namun, perdagangan kripto diregulasi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan dalam Peraturan Bappebti Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka.