Denpasar (ANTARA) - Hari Santri Nasional diperingati pada setiap 22 Oktober itu merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad yang diserukan oleh Rais Akbar NU Hadratussyeikh KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Peran kaum santri dalam perjuangan yang sering dikampanyekan Mbah Maemun Zuber dengan "hubbul wathon minal iman" itu akhirnya menjadi Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo di Masjid Istiqlal, Jakarta pada 15 Oktober 2015.
Artinya, Hari Santri itu sesungguhnya merupakan komitmen "bela negara" dari kaum sarungan dan kaum santri yang hampir tidak mempersoalkan ada-tidaknya "pengakuan" dari negara, karena kaum santri meyakini "bela negara" dalam "sudut" ajaran agama, yang akhirnya "diakui" selang kurun 1945-2015 (70 tahun).
Tragedi terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan atas konspirasi Muhammad bin Abu Bakar dengan orang Mesir merupakan gerakan yang mengatasnamakan agama terkait "tafsir" agama (konsep dan dogma).
Untuk mencegah tragedi itu berulang, maka Islam harus diselamatkan dari kesan-kesan kebencian dan perpecahan atas nama kepentingan pragmatis, karena perbedaan itu menciptakan kubu/klaster yang ujung-ujungnya adalah saling menyalahkan, saling mengafirkan satu sama lain, hingga saling membunuh.
Padahal, perbedaan itu dalam konsep agama sesungguhnya adalah sunnatullah (hukum alam) yang dimaksudkan agar umat saling mengenal. Itu ajaran Islam. Bahkan, anjuran bela negara dalam ajaran Islam juga pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW saat mengajak umat lain untuk mempertahankan Madinah, yakni Yahudi dan Nasrani.
Ada korban Perang Uhud yang bernama Mukhairiq, yang merupakan orang Yahudi dari Bani Qainuqa. Kalau itu perang agama, Nabi SAW tidak mungkin mengajak orang beragama lain, apalagi sampai mengikat kesepakatan dalam Piagam Madinah. Itu ajaran agama tentang bela negara.
Baca juga: Wapres dorong pesantren beradaptasi dengan perubahan zaman
Karena itu, hakikat bela negara adalah ajaran Nabi, dan konsep "perbedaan sebagai sunnatullah" adalah ajaran Islam, yang memiliki "dalil" kuat, kendati selama ini "dibelokkan" oleh kaum Wahabisme dan pengusung Khilafah.
Jadi, Hari Santri sebagai representasi bela negara itu memiliki pijakan kuat dalam agama secara konsep dan praktik, sehingga Hari Santri itu patut dirayakan setiap tahun untuk menggelorakan semangat bela negara, dalam sitem negara berbentuk apapun.
Semangat Hari Santri (bela negara) itu, antara lain semangat tidak menebarkan kebencian kepada siapapun, karena Islam menghargai perbedaan (sunnatullah). Juga, semangat untuk tidak melawan negara, melainkan membangun negara yang memberi kesempatan agama untuk berkembang di dalam negara dan negara juga tidak melarang ibadah, termasuk azan pun bebas.
Selama kurun 2000-2022, sebanyak 2.039 teroris yang ditangkap Polri juga bukan karena Islam, tapi karena mereka "menunggangi" Islam. Mereka tidak mau dengan perbedaan dan ingin semuanya sama, padahal Nabi dan Islam juga menghargai perbedaan. Jadi, kesalahan itu bukan karena agama, tapi sikap mereka yang menyalahkan perbedaan.
"Fardhu 'ain" digital
Saat mendeklarasikan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar NU KH Hasjim Asy’ari menyerukan perintah kepada umat Islam untuk berperang melawan tentara Sekutu yang ingin menjajah kembali wilayah Republik Indonesia pasca-Proklamasi Kemerdekaan.
Sekutu yang dimaksud di sini ialah Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II untuk mengambil alih tanah jajahan Jepang. Juga, terdapat pasukan Belanda yang ikut "membonceng" datang ke Indonesia untuk kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Seruan perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia itu cukup singkat, yakni Membela Tanah Air dari penjajah itu hukumnya fardlu 'ain atau wajib bagi setiap individu/orang. Selain seruan "kewajiban individual" itu, resolusi itu juga memuat dua "seruan" para ulama se-Jawa dan Madura yakni siapapun yang tewas dalam bela negara adalah mati syahid dan siapapun yang menjadi pengkhianat pada negara patut dihukum mati.
Namun, seruan "wajib" bela negara itu cukup ampuh untuk membakar semangat para santri di Surabaya dan sekitarnya dari Hizbullah, Sabilillah, BKR, TKR, dan laskar lain untuk menyerang markas Bridge 49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby, sehingga Jenderal Mallaby tewas setelah pertempuran selama tiga hari pada 27, 28, dan 29 Oktober 1945.
Tentara Sekutu sempat memanggil Presiden Soekarno untuk "gencatan senjata", namun kesepakatan itu "ambyar" karena Jenderal Mallaby pun tewas pada 30 Oktober 1945. Tidak hanya Jenderal Mallaby, tapi 2.000-an anggota pasukannya pun tewas, sehingga menyulut kemarahan angkatan perang Inggris, yang berujung pada Pertempuran 10 November 1945. Akhirnya, Presiden Joko Widodo pun menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri sejak tahun 2015, atau selang 70 tahun dari 1945.
Intinya, seruan bela negara dari kaum santri itu mirip Piagam Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, yakni persatuan dan kesepakatan atas nama negara, bukan agama. Bela negara dalam konsep Resolusi Jihad atau Piagam Madinah adalah kesepakatan bersama yang bertujuan mendamaikan konflik tanpa melihat perbedaan/SARA, karena agama memang diturunkan untuk tujuan agar manusia menghargai/membangun kemanusiaan dan mendorong kedamaian. Bela negara merujuk pada kemanusiaan/kebersamaan dan kedamaian itu.
Baca juga: Wapres: Bersyukur peran santri diakui negara setelah 70 tahun
Ya, Islam mengajarkan konsep "hablummina-Allah" dan "hablumminan-nas" yang mendorong Islam menjadi agama penyempurna yang menjadi rahmat, bukan untuk saling menyalahkan/mengafirkan, tapi "jalan tengah" dari perbedaan. Indonesia adalah "rumah bersama" yang harus dijaga, bukan di-bom, bukan di-bid'ah-kan, tapi dijaga bersama dengan etika, dengan kebersamaan/moderasi, dengan Pancasila.
Nah, dalam era digital, tentu konsep bela negara juga perlu menyesuaikan caranya dengan era yang ada. Paling tidak, bela negara dalam era digital itu merupakan perlawanan terhadap hoaks, ujaran kebencian, dan konten-konten digital yang bertujuan "meruntuhkan" negara dan bangsa secara maya.
Oleh karena itu, kaum santri juga harus masuk ke dunia digital untuk melakukan bela negara secara kekinian. Misalnya, perlawanan terhadap narasi-narasi yang menawarkan konsep-konsep radikal anti-negara secara digital (radikal-digital). Prinsipnya sama bahwa bela negara di dunia digital adalah "fardhu 'ain" digital pula, apalagi kelompok-kelompok radikalis juga masif melakukan "perang" digital.
Kelompok radikal-digital sudah membombardir dunia maya dengan jebakan-jebakan digital untuk masyarakat awam, yang awam secara agama dan sekaligus awam secara digital, di antaranya "jebakan" pilihan Islam atau Pancasila, Negara Islam atau negara kafir, "dalil" Maulid Nabi, dan sebagainya. Jebakan-jebakan digital itu menghalalkan segala cara dengan memanfaatkan rekayasa digital.
Agaknya, perlawanan terhadap kelompok radikal-digital itu bisa menggunakan konsep "kesalehan digital" yang bernuansa agama (benar secara agama), yakni sanad, matan, dan rawi. Sanad adalah ada narasumber yang kompeten/kredibel. Matan adalah konten yang tabayyun (akurat/konfirmasi), adil/al-adalah (objektif), dan ukhuwah (kepentingan publik/positif-mencerahkan). Rawi adalah media yang harus terverifikasi Dewan Pers.
Walhasil, Hari Santri adalah Hari Resolusi Jihad (1945) atau hari bela negara yang secara kekinian bermakna Hari "perang" digital melawan kelompok radikal-digital, yang tidak kalah peliknya dengan perlawanan bersenjata. Selamat Hari Santri Nasional 2022.
Hari Santri, bela negara, dan radikal digital
Jumat, 21 Oktober 2022 14:08 WIB