Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Video kekerasan yang dilakoni oleh lima gadis remaja di Bali beberapa bulan lalu dan tersebar lewat media jejaring sosial sempat menyita perhatian masyarakat.
Betapa tidak, gadis-gadis berparas ayu itu dengan ringan tangan memukul, merobek-robek pakaian, dan berkata kasar pada rekannya yang lain dalam satu kelompok.
Tayangan seperti itu bagi masyarakat Bali mungkin sebelumnya hanya dijumpai lewat berita-berita dari media nasional. Umumnya kekerasan yang diberitakan, aktornya berasal dari remaja asal ibu kota dan kota-kota besar lainnya.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi informasi, hal-hal yang tidak mungkin pun terjadi di pulau yang terkenal damai dengan keramahan penduduknya ini.
Kasus tersebut setidaknya menjadi salah satu ilustrasi bahwa perkembangan teknologi informasi dan tumbuh suburnya berbagai media penyiaran tidak seluruhnya berdampak positif bagi masyarakat.
Jika tidak pintar-pintar memilah dan memilih tayangan, khususnya untuk anggota keluarga akan mudah terimitasi pada tayangan yang dapat memberi efek negatif, baik itu yang mengarah pada kekerasan, konsumerisme dan sikap antisosial.
Terfokus pada tayangan yang berbau kekerasan jika disampaikan secara gamblang, hal itu menurut Ketua Majelis Himpunan Psikologi (Himpsi) Bali Drs Supriyadi MS akan berdampak meningkatkan agresivitas masyarakat.
"Tanpa disadari, dengan masyarakat dipapar informasi demikian secara terus-menerus akan terjadi proses imitasi agresi karakter masyarakat. Celakanya lagi, berbagai tayangan kerusuhan pada media yang disajikan secara gamblang tanpa ada pesan agar tayangan jangan ditiru, menjadikan anak-anak remaja menjadi punya pola ekspresi agresif dan bahkan bangga melakukan tindak kekerasan," ucapnya menjelaskan.
Seberapa besar pengaruhnya, kata Supriyadi, memang harus dilakukan kajian mendalam. Namun yang jelas, dapat dilihat dan dirasakan sendiri dampaknya dengan menyaksikan realita di lapangan.
Menurut dia, tayangan berbau kekerasan pun tidak semata pada mata acara yang mempertontonkan kekerasan fisik secara gamblang, diskusi ataupun dialog yang tanpa solusi juga termasuk berbau kekerasan.
Supriyadi menilai, media informasi saat ini seringkali menampilkan dialektika yang ibaratnya seperti dialog kuda nil.
"Artinya, dalam berbagai dialog yang disajikan, mana yang banyak berbicara itulah yang menang dan seakan-akan benar. Seperti halnya kuda nil, mana yang mulutnya besar, itu pula yang menang," katanya yang juga akademisi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana itu.
Debat-debat di televisi, menurutnya kerap kali tanpa tawaran solusi sehingga bagi masyarakat, berdebat semaunya itu dipandang sudah wajar dan semua punya hak. Apalagi dengan adanya euforia demokrasi menyebabkan semua merasa berhak berpendapat.
Memang, lanjut dia, kalau di stasiun televisi akan terkendali karena ada skenarionya, tetapi jika perdebatan semacam di televisi itu terjadi dalam masyarakat pasti akan timbul perkelahian dan bentrok-bentrok fisik sebagai cerminan dari imitasi perilaku agresi.
Eksklusivitas Media
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Provinsi Bali Komang Suarsana menilai tayangan kekerasan di berbagai stasiun televisi di Tanah Air itu lebih pada keinginan eksklusivitas pemilik dan pengelola media.
"Katakanlah televisi A meliput aksi anarkisme, mungkin mereka baru merasa eksklusif apabila dapat mempertontonkan ketika ada yang menggebukin orang atau merusak tempat ibadah lain, ataupun korban sampai remuk redam," ucapnya.
Namun, dirinya tidak yakin dengan tayangan semacam itu otomatis akan menaikkan rating karena masyarakat tertentu juga akan ngeri menyaksikan tayangan kekerasan secara vulgar.
"Kami mengerti bahwa setiap program tayang televisi ada unsur kreativitas dan eksklusivitas. Tetapi tolong diingat juga, untuk semuanya itu jangan sampai mengorbankan masyarakat yang lebih luas," katanya.
Seandainya dengan keadaan yang sangat terpaksa harus menampilkan hal yang berbau kekerasan, pihaknya berharap dikemas dengan lebih baik dalam proses editing lebih cermat.
"Untuk persentase tayangan kekerasan memang kami tidak membuat kalkulasi secara khusus jumlahnya berapa. Namun yang jelas, beberapa stasiun televisi yang menampilkan tayangan bernada kekerasan, sudah pernah kami tegur. Seperti masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang begitu vulgar diekspose, serta simbul-simbul kekerasan ada darah, benda tajam, dan aksi anarkis yang muncul dengan intensitas cukup tinggi," ucapnya.
Sedangkan kekerasan dalam bentuk verbal, Suarsana mengharapkan hal itu dapat dikemas dalam tayangan dengan kata-kata yang lebih sopan dan beretika.
Untuk menghindari dampak buruk tayangan televisi, pihaknya meminta masyarakat untuk bersama-sama mengawasi program yang ada di televisi dan masyarakat hendaknya melakukan tindakan yang bijak.
"Ketika ada tontonan yang tidak bermakna dan bermanfaat pada anak-anak dan remaja, mestinya itu dihindari ditonton. Masyarakat perlu bijak memilah dan memilih program yang sesuai," harapnya.
Lebih Kooperatif
Suarsana menambahkan, di luar konteks pelanggaran siaran dalam bentuk kekerasan, ia menilai stasiun televisi lokal cenderung lebih kooperatif dibandingkan stasiun televisi nasional ketika dilakukan pembinaan pada saat mereka melakukan pelanggaran.
"Pelanggaran ataupun pengaduan dari masyarakat terhadap siaran televisi kebanyakan memang tertuju pada televisi nasional," katanya.
Penyebabnya di satu sisi dari program mereka relatif lebih produktif dan kreatif dalam mengemas program sehingga begitu banyak program yang ditayangkan dibandingkan televisi lokal. Terjadinya pelanggaran pun lebih terbuka seiring dengan bervariasinya program yang mereka ciptakan, kata mantan jurnalis harian terbesar di Bali itu.
Oleh karena stasiun televisi lokal bersifat lebih kooperatif dengan mengacu pada pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS), sehingga ucap dia, pelanggaran di tingkat televisi lokal relatif lebih kecil dibandingkan televisi nasional itu sendiri.
Terkait dengan teguran bagi para pelanggar isi siaran, sesuai dengan amanat UU dan aturan yang ada, KPI hanya bisa memberikan teguran dalam bentuk tertulis, teguran keras dalam bentuk penghentian program siaran, pengurangan jam siar, penghentian secara permanen bahkan diberikan kewenangan mencabut izin penyiaran.
"Untuk mencabut izin penyiaran, haruslah melalui proses peradilan," ucapnya.
Sementara itu, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Bali I Wayan Yasa Adnyana mengatakan, untuk kasus pengaduan dari masyarakat terkait dengan tayangan kekerasan jumlahnya relatif lebih sedikit dibandingkan pengaduan acara yang berbau pornografi.
"Pada 2011, terdapat 21 kasus aduan masyarakat dan hasil monitoring terhadap pelanggaran P3SPS. Tetapi dari kasus itu, dominasinya pelanggaran terhadap simbul keagamaan Hindu Bali, kasus yang berbau pornografi. Sedangkan untuk kekerasan, sekitar tiga kasus," katanya.
Umumnya tayangan kekerasan terjadi pada televisi nasional sedangkan pada stasiun daerah arahnya lebih pada pengaduan terkait pornografi, ujar Yasa.(LHS/T007)
Tayangan Kekerasan dan Mulut Kuda Nil
Minggu, 27 Mei 2012 16:42 WIB