Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Tari Legong dalam khasanah seni budaya Bali merupakan salah satu jenis tari klasik, yang sejak awal perkembangannya dari istana kerajaan yang hanya dapat dinikmati sang raja beserta anggota keluarganya.
Sebagai sebuah tari hiburan penarinya didaulat untuk membawakan tari legong di hadapan raja dan keluarganya, sehingga penarinya merasakan suatu kesenangan yang luar biasa, karena tidak sembarang orang boleh masuk ke dalam istana.
Tari legong yang hingga sekarang tetap eksis dalam perkembangan seni budaya di Pulau Dewata, awal penciptaannya melalui proses yang sangat panjang, tutur Ni Nengah Ari Wijayani (23), mahasiswa Jurusan Tari Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Dalam mengikuti ujian akhir di hadapan tim dosen penguji yang beranggotakan 17 orang, ia menampilkan karya cipta yang diberi judul "Sipta Purwaka" yang terinspirasi dari tari legong.
Tari yang dibawakannya sendiri didukung dua rekannya masing-masing Ni Wayan Siyentari, mahasiswa semester VI jurusan tari dan Ni Wayan Nia Arniati, mahasiswa semester IV IKIP PGRI Bali.
Penata iringan I Ketut Sujena, S.Sn juga melibatkan sekaa Pelegongan Banjar Binoh Kaja, Ubung Kaja kota Denpasar mampu menarik perhatian masyarakat yang memadati gedung Nitya Mandala ISI Denpasar Rabu malam (22/5).
Ari Wijayani merupakan salah seorang dari 42 peserta ujian akhir yang mendapat kesempatan pertama menampilkan karya cipta selama tiga hari, 22-24 Mei 2012.
Menurut Babad Dalem Sukawati, tari Legong, sebuah karya yang maha agung tercipta dari alam bawah sadar (mimpi) dari I Dewa Agung Made Karna, Raja Sukawati yang bertahta tahun 1775-1825 M.
Sosok raja yang dikenal bijaksana dan menaruh perhatian besar terhadap pengembangan seni budaya itu bermimpi, melihat bidadari sedang menari di surga, dengan menggunakan hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Raja itu segera memerintahkan Bendesa Ketewel, Kabupaten Gianyar untuk membuat beberapa topeng yang wajahnya tampak dalam mimpi itu serta menciptakan tarian yang mirip dilihatnya dalam mimpi.
Bendesa Ketewel akhirnya mampu menyelesaikan sembilan buah topeng sakral sesuai permintaan Raja I Dewa Agung Made Karna, sekaligus pertunjukan tari Sang Hyang Legong dapat dipentaskan di Pura Jogan Agung Sukawati melibatkan dua penari perempuan.
Tidak lama setelah tari Sang Hyang Legong tercipta, sebuah sekaa (grup) pertunjukan tari Nandir dari Blahbatuh, Gianyar yang dipimpin I Gusti Ngurah Jelantik melakukan pementasan yang disaksikan Raja I Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar kala itu.
Sang raja sangat tertarik dengan tarian yang memiliki gaya yang mirip dengan tari Sang Hyang Legong, seraya memerintahkan dua orang seniman untuk menata kembali dengan melatih dua wanita sebagai penarinya. Sejak itulah tercipta tari Legong klasik yang tetap lestari hingga sekarang.
Gerakan diikat
Tari legong berarti gerakan yang sangat diikat, terutama aksentuasinya oleh instrumen gamelan yang mengiringinya. Sebagai sebuah tari klasik, tari Legong sangat mengedepankan unsur artistik yang tinggi, gerakan yang sangat dinamis, simetris dan teratur.
Awalnya penari legong khusus orang-orang yang berasal dari luar istana yang merupakan penari pilihan oleh raja ketika itu, sehingga tidak mengherankan jika para penari merasa bangga yang luar biasa saat menarikan tari Legong di istana.
Demikian pula sang pencipta tari menjadi suatu kehormatan besar, karena mendapat kepercayaan menciptakan tarian dari seorang penguasa zaman itu, meskipun identitasnya tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Mereka tidak mempersoalkan hal itu asalkan didaulat menciptakan berdasarkan hati yang tulus dan penuh rasa persembahan kepada sang raja.
Kondisi demikian hampir terjadi pada seluruh tari-tari klasik maupun tari tradisi lain yang berkembang di luar istana seperti tari legong, baris, jauk dan topeng.
Ari Wijayani menambahkan, kini zaman yang tidak lagi menganut paham feodalisme, kesenian legong telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari segi mutu maupun jumlah.
Tari legong Keraton misalnya berkembang di istana, keluar dari lingkungan istana pada awal abad ke-19, para penari wanita yang dulunya berlatih dan menari Legong di istana kembali ke desa masing-masing untuk mengajarkan jenis tarian ini kepada masyarakat sekitarnya.
Hal itu didasarkan manusia Bali adalah orang yang sangat kreatif, sehingga gaya tari masing-masing sedikit berbeda sesuai dengan kemampuan membawakannya.
Oleh karena itu, timbul gaya (style-style) Palegongan yang tersebar di berbagai wilayah Bali seperti gaya Desa Saba, Peliatan, Bedulu (Kabupaten Gianyar), Binoh, Kelandis (Kota Denpasar) dan beberapa tempat lainnya di Bali.
Dari sekian banyak daerah perkembangan tari Legong, hanya desa Saba dan Peliatan yang masih kuat hingga sekarang mempertahankan ciri khasnya dan mampu melahirkan jenis-jenis tari Palegongan dengan berbagai ragam bentuk.
Tari legong yang ada di Bali pada awalnya diiringi gamelan yang disebut gamelan pelegongan. Perangkat gamelan terdiri atas dua pasang gender rambat, gangsa jongkok, sebuah gong, kemong, kempluk, klenang, sepasang kendang krumpungan, suling, rebab, jublag, jegog dan gentorang.
Sebagai tambahan, terdapat seorang juru tandak untuk mempertegas karakter maupun sebagai narrator cerita melalui tembang. Namun, seiring populernya gamelan gong kebyar di Bali, akhirnya tari-tari palegongan pun bisa diiringi gamelan Gong Kebyar, karena tingkat fleksibilitasnya, tutur Ari Wijayani.(IGT/T007)