Denpasar (ANTARA) - Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali mengharapkan adanya penguatan keberadaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan di Pulau Dewata, sehingga dapat lebih maksimal dalam melayani petani.
"BPP di tingkat kecamatan, secara umum belum mampu melaksanakan tugas, peran dan fungsinya secara optimal karena dihadapkan pada minimnya dukungan sarana dan prasarana," kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Ida Bagus Wisnuardhana, di Denpasar, Rabu.
Saat menjadi narasumber dalam diskusi virtual bertajuk "Pengawasan atas Pelaksanaan UU Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan" itu Wisnuardhana mengatakan bahkan ada BPP yang tidak memiliki lahan dan belum memiliki sarana teknologi informasi.
"Padahal prinsip penyuluhan itu, tidak hanya memberitahu petani, tetapi harus mampu menunjukkan demplot, memotivasi petani agar mau dan mampu mengikuti saran yang disampaikan penyuluh pertanian," ucapnya.
Di samping itu, tambah Wisnuardhana, juga dihadapkan semakin kecilnya dukungan biaya operasional dari pemerintah daerah. Berbeda dengan sebelum adanya UU No 16 Tahun 2006 yang mendapat dukungan dana dari pemerintah pusat.
Baca juga: Bali berterima kasih anggota DPD kawal DSP untuk hotel tempat karantina
Belum optimalnya peran BPP di kecamatan juga dihadapkan pada minimnya jumlah penyuluh pertanian. Dari jumlah desa di Bali yang sebanyak 716 desa itu, idealnya ada satu penyuluh pertanian untuk masing-masing desa.
"Namun kondisi saat ini, jumlah penyuluh pertanian di daerah kita ada 532 orang, sebanyak 391 orang diantaranya berstatus PNS dan 141 orang tenaga kontrak," ucapnya.
Sesuai dengan kebijakan Kementerian Pertanian 2019-2024, BPP di kecamatan telah ditransformasi menjadi Kostratani sebagai pusat kegiatan pembangunan pertanian tingkat kecamatan, yang merupakan optimalisasi tugas, fungsi dan peran Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Wisnuardhana mengusulkan dalam penguatan BPP/Kostratani tentunya dengan dukungan anggaran operasional yang lebih dari pemerintah pusat dan daerah, melengkapi sarana dan jaringan teknologi informasi, peningkatan jumlah tenaga penyuluh dan kapasitasnya melalui diklat, hingga penyesuaian metode penyuluhan.
Sementara itu, I Made Widiada yang merupakan salah satu PPL senior dari Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan mengeluhkan hal yang tidak jauh beda.
Baca juga: Anggota DPD terima keluhan kesulitan air dari petani Buleleng
"Seiring dengan otonomi daerah dengan pemberlakuan UU No 16 Tahun 2006 itu, banyak fasilitas maupun anggaran yang berkurang untuk BPP di kecamatan," ucapnya.
Untuk jumlah petugas penyuluh lapangan juga tinggal 87 orang dari 133 desa di Kabupaten Tabanan dan mayoritas akan pensiun hingga 2022 mendatang. "Jika tidak ada pengangkatan yang baru, maka pada 2023 hanya tinggal 16 penyuluh lapangan," ucapnya.
Luh Ketut Sukarmi, PPL dari Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar juga menyampaikan permasalahan ada BPP yang sampai tidak memilihi lahan untuk pelaksanaan demplot, hingga persoalan tidak adanya dana pelatihan selama masa pandemi COVID-19.
Menanggapi sejumlah masukan itu, anggota Komite 2 DPD Made Mangku Pastika mengatakan penyerapan aspirasi secara virtual itu memang ditujukan mengevaluasi implementasi UU No 16 Tahun 2006.
"Terkait kendala-kendala yang dihadapi di lapangan, tentunya harus ditindaklanjuti. UU ini memang sudah cukup lama dan sebagian ketentuannya sudah dilaksanakan, namun rupanya belum berfungsi penuh mewadahi pertanian dalam arti luas," ucapnya.
Mantan Gubernur Bali dua periode itupun mengusulkan agar Balai Penyuluhan Pertanian di kecamatan dapat mengajarkan para petani tentang teknologi pertanian terbaru maupun mengenai agribisnis karena menyangkut kesejahteraan petani, sekaligus ketahanan pangan.
"Banyak juga yang sekarang belajar pertanian secara otodidak dari YouTube, oleh karena itu BPP dan penyuluh pertanian harus berperan sesuai dengan kondisi dan situasi di lapangan," kata Pastika.