Denpasar (ANTARA) - Sehari-hari bekerja di salah satu stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di bilangan Kota Denpasar, I Nyoman Gede Suparta (45) merasa bersyukur karena masih bisa tetap bekerja untuk menafkahi keluarganya di tengah pandemi COVID-19.
Dia merasa masih bisa sedikit bernapas lega dibandingkan beberapa teman maupun sanak saudaranya yang selama ini bekerja di sektor pariwisata.
Mereka yang bekerja di sektor pariwisata, tidak sedikit yang dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja karena memang pariwisata Bali terpuruk akibat tak adanya lagi kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik ke Pulau Dewata dalam masa pandemi COVID-19.
"Dalam kondisi seperti sekarang ini saya tentu harus lebih berhemat agar tetap bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi istri saya dalam dua bulan terakhir juga sudah dirumahkan dari tempatnya bekerja dan tidak menerima upah," ucapnya.
Meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit, Mang De, demikian pria ini biasa disapa, mengaku tetap berusaha untuk menyisihkan penghasilannya untuk membayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional setiap bulan.
Sebagai peserta Mandiri untuk kelas III dari program Jaminan Kesehatan Nasional itu, Mang De sudah pernah merasakan "hikmah" menggunakan layanan kesehatan tersebut sehingga ia merasa penting untuk disiplin membayar iuran BPJS Kesehatan, walaupun harus merogoh kocek sendiri.
"Saya dan keluarga sebenarnya sudah ikut BPJS Kesehatan sejak 2017, saat itu saya masuk kelas II dan ditanggung dari tempat bekerja, namun sejak 2019 sudah tak ditanggung lagi, sehingga saya memutuskan untuk turun kelas di kelas III dan menjadi peserta Mandiri," ucapnya.
Mang De mengaku sudah pernah menggunakan layanan BPJS Kesehatan ketika anaknya yang nomor dua harus menjalani rawat inap di RSUD Wangaya, Denpasar, karena mengalami diare. Saat itu pelayanan yang diterimanya bagus dan tidak perlu membayar biaya pengobatan sepeserpun.
Selain itu, Mang De juga beberapa kali menggunakan layanan kesehatan ketika menderita demam dan batuk, serta untuk kontrol gusi dan gigi anaknya.
"Kalau iuran BPJS Kesehatan mau dinaikkan, saya harapkan di rumah sakit manapun masyarakat menggunakannya agar pelayanannya harus baik. Jangan sampai berbeda-beda pelayanan satu RS dengan RS lainnya karena kan masyarakat sudah membayar," ucapnya.
Jika nantinya iuran JKN dari BPJS Kesehatan ada kenaikan sedikit, Mang De mengatakan tetap akan berusaha menunaikan kewajibannya tepat waktu, yang penting dia masih bisa tetap bekerja.
Pandangan tak jauh berbeda disampaikan Ni Ketut Warni (54), wanita asal Kabupaten Jembrana yang sudah lama tinggal di Kota Denpasar.
Warni mengaku cukup puas dengan pelayanan yang diterima salah satu RS swasta di Kota Denpasar saat menggunakan BPJS Kesehatan ketika harus menjalani rawat inap selama sepekan.
"Pelayanannya baik dan saya juga tidak membayar sama sekali ketika opname. Demikian juga cucu saya yang berusia setahun lebih juga pernah diopname sampai dua minggu karena awalnya panas dan kejang, saya merasa sangat terbantu karena tak lagi memikirkan biaya pengobatan," ucapnya.
Warni yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga itu sangat mengharapkan pemerintah jangan dulu menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah kondisi pandemi COVID-19.
"Saat ini untuk makan saja kita cukup sulit dan beban menjadi lebih berat jika iuran BPJS dinaikkan," ujar wanita yang untuk kepesertaan BPJS Kesehatannya itu ditanggung oleh anak laki-lakinya yang penghasilan per bulannya tidak tetap.
Akan tetapi, kata Warni, kalau memang iuran JKN memang harus dinaikkan, tentunya harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pelayanan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
"Misalnya saja ketika opname jangan sampai waktu kontrol dari dokter itu dibeda-bedakan antara pasien umum dan pasien BPJS," ujarnya.
I Nyoman Gede Suparta (45) dan Ni Ketut Warni (54) merupakan contoh dua peserta program Jaminan Kesehatan Nasional di Kota Denpasar, Bali, yang sudah merasakan pengalamannya menggunakan program kesehatan yang pada prinsipnya berasaskan gotong royong tersebut.
Mereka sama-sama menginginkan jika iuran JKN harus dinaikkan, yang terpenting harus diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan. Lalu bagaimana sejatinya mekanisme kenaikan iuran JKN yang akan diberlakukan 1 Juli mendatang?
Subsidi iuran
Iuran BPJS Kesehatan memang akan naik mulai 1 Juli 2020. Hal ini setelah Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 yang mengatur mengenai penyesuaian besaran iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Perpres Nomor 64 tahun 2020 itu tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) disesuaikan menjadi Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III.
Sebelumnya Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menegaskan bahwa sebenarnya iuran BPJS Kesehatan, khususnya untuk peserta mandiri atau segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III tidak naik. Karena dalam realisasinya, peserta hanya cukup membayar iuran Rp25.500 dan sisanya sebesar Rp16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat.
"Memang dalam regulasi disebutkan tarif iuran kelas III untuk PBPU dan BP naik menjadi Rp42.000. Hanya naik implementasi di dalam Perpres, tapi sebenarnya tidak mengalami kenaikan," kata Askolani dalam konferensi pers melalui video di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan disebutkan iuran peserta mandiri kelas III sebesar Rp 42.000 mulai berlaku Juli 2020.
Hanya saja, di dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 Perpres Nomor 64 Tahun 2020 disebutkan peserta hanya cukup membayarkan iuran sebesar Rp25.500 karena sisanya sebesar Rp16.500 disubsidi oleh pemerintah pusat. Artinya, peserta segmen PBPU dan BP kelas III tetap membayar iuran seperti saat ini atau tidak mengalami kenaikan iuran sama sekali untuk Tahun 2020.
Askolani mengatakan pemerintah menyadari dalam kondisi perekonomian masyarakat sedang melemah pada situasi pandemi COVID-19. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan pendanaan berupa subsidi iuran BPJS Kesehatan bagi peserta PBPU dan BP kelas III.
"Setoran yang diberikan masyarakat peserta PBPU dan BP kelas III tidak mengalami kenaikan, itu tetap Rp 25.000. Implementasi di lapangan tidak ada, tetap dibantu pemerintah," ucap Askolani.
Kenaikan besaran iuran peserta mandiri kelas III baru diberlakukan pada Januari 2021 menjadi Rp35.000 per bulan, dengan selisih iuran sebesar Rp7.000 masih disubsidi oleh pemerintah, namun iuran Rp35.000 tersebut masih bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah dengan dibayarkan seluruhnya atau sebagian dengan ketentuan yang diatur selanjutnya.
Sementara bagi peserta PBPU dan BP kelas II ditetapkan iuran sebesar Rp100 ribu dan kelas I sebesar Rp150 ribu yang mulai berlaku pada Juli 2020, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 34 Ayat 3 dan 4 Perpres.
Manfaat tambahan JKN
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya sebelumnya mengatakan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional – Krama Bali Sejahtera (JKN-KBS), untuk 2020 ada manfaat tambahan yang akan diterima peserta yang meliputi pelayanan kesehatan tradisional komplementer di puskesmas, pelayanan ambulans gawat darurat, pelayanan transportasi jenazah antarkabupaten/kota, penanganan keluhan terintegrasi dan visum et repertum.
"Kami juga minta pemerintah pusat supaya tetap memberikan subsidi premi untuk pelaksanaan JKN, khususnya untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) Daerah," ucapnya.
Pemerintah Provinsi Bali mengharapkan pemerintah pusat dapat menaikkan jumlah kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional dari segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI) Pusat yang anggarannya didanai APBN agar menjadi sebanyak 40 persen dari jumlah penduduk di Pulau Dewata dengan pendapatan terendah.
Suarjaya juga meminta dukungan dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan di Bali, terutama anggaran pemerintah pusat ke daerah supaya diperjuangkan oleh senator-senator dari Bali.
"Bali selama ini mendapat DAK, baik fisik maupun nonfisik, tetapi nilainya sedikit sekali. DAK fisik untuk rumah sakit dan puskesmas, sedangkan non-fisik berupa bantuan operasional kesehatan," katanya.
Direktur Utama RSU Puri Raharja, Bali, dr Nyoman Sutedja MPH, mengatakan pihaknya seringkali kebingungan untuk menyesuaikan dengan sejumlah regulasi di bidang kesehatan yang berubah-ubah.
Sebelumnya saat iuran JKN belum dinaikkan, keterlambatan pembayaran klaim RS dari pihak BPJS Kesehatan bisa hingga tiga bulan. "Kami tiga bulan baru dibayar, memang dimungkinkan untuk meminjam di bank, tetapi itu tentu tidak gratis dan kami akan dikenai bunga bank," ucapnya.