Denpasar (ANTARA) - Kalau dikaitkan dengan virus serupa, yakni Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS/2003) dan Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV/2012-2014), virus corona atau Corona Virus Disease (COVID-19/Wuhan-China/2019) memang memiliki sebaran lebih luas.
Oleh karena itulah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhirnya menaikkan status COVID-19 sebagai pandemi, di mana penyebarannya hingga Kamis (12/3) tercatat mencapai 118 negara di dunia dan menginfeksi 126.061 orang (67.064 sembuh dan 4.616 meninggal).
Kalau dibandingkan dengan SARS, kematian akibat COVID-19 justru lebih rendah. Kematian akibat SARS mencapai 9,6 persen dari pasien yang ada, meski pasien meninggal akibat SARS jauh lebih rendah dan sebaran juga tidak seluas COVID-19.
Beda lainnya, penyebaran SARS dan COVID-19 berawal dari China Selatan (Asia/2003), sedangkan MERS berasal dari Timur Tengah (2012-2014).
Namun, perbedaan paling pasti adalah SARS dan MERS menyebar saat media sosial belum ada, sedangkan COVID-19 ada saat dua miliar warga dunia memakai media sosial.
Oleh karena itulah, COVID-19 justru menyebar bersamaan dengan virus "informasi" COVID-19 yang seringkali lebih "mematikan" daripada virus aslinya, karena medsos tanpa melakukan pemeriksaan sudah memvonis, menyalahkan, dan bahkan "menelanjangi" (melakukan perundungan).
Akhirnya, ketika dokter belum selesai melakukan pemeriksaan di laboratorium, informasi sudah beredar ke mana-mana dengan "bumbu" yang menyengat ke mana-mana. Pasien pun sudah "mati" secara "medsos" sebelum benar-benar mati, atau bahkan berpotensi sembuh.
Apalagi, bila informasi yang beredar itu sudah disertai foto, identitas lengkap, dan narasi-narasi reportase tanpa narasumber, "pasien medsos" itu pun benar-benar mati sebelum waktunya. Bisa jadi, foto hanya tempelan, video dengan narasi "dubbing", dan semacamnya.
Tidak hanya itu, kepentingan di luar informasi pun bisa masuk. Misalnya, COVID-19 bisa ditarik ke kepentingan politik, ekonomi, dan bahkan agama, termasuk narasi bersifat SARA (suku, agama, ras, antargolongan) atau tema-tema emosional (mengaduk-aduk emosi).
Tema-tema yang mirip, termasuk dengan hoaks-hoaks sebelum terjadinya COVID-19 itu, agaknya patut diduga sebagai rangkaian yang saling terkait, sehingga arah dari hoaks-hoaks itu pun dapat ditebak ujung dan pangkalnya, bahkan motif sesungguhnya.
Baca juga: Instagram kurangi sebaran hoaks virus COVID-19
Korban yang bergelimpangan yang dibilang korban COVID-19, padahal kejadian pada masa Nazi, COVID-19 disebut sebagai "tentara" Allah seperti burung Ababil padahal beda konteks, sebab virus itu kini melanda hampir seluruh negara, tanpa membedakan SARA.
Hoaks lainnya, COVID-19 dikaitkan dengan "warning" atas kekejaman pada Muslim Uighur atau isu China minta izin pengadilan untuk membunuh 20.000 korban COVID-19 guna menghentikan penularan, atau isu masyarakat China berbondong-bondong shalat sebagai tobat padahal Muslim ketinggalan shalat Jumat, dan banyak lagi hoaks yang lain.
Arah dan sasarannya bisa dibaca sangat jelas menuju ke mana, dan jelas pula siapa yang diuntungkan dari "pabrikasi" hoaks itu.
Untuk itulah, berpikir kritis terhadap medsos agaknya merupakan hal yang sangat penting, agar tidak ada kepanikan yang tidak perlu, baik kepanikan ekonomi, politik, maupun agama.
"Korban pemerkosaan kena stigma, pasien HIV dikucilkan, sekarang yang kena COVID-19 juga dipermalukan. Jadi, apa yang salah? Yang salah, narasi dan 'storytelling'-nya. Kalian para jurnalis (warganet, red.) punya andil, berhentilah meng-'capture' korban dan pasien layaknya monster," tulis seorang dokter SPS pada akun twitter-nya, 4 Maret 2020.
Ya, kuncinya sederhana. Informasi dan noninformasi harus disikapi berbeda. Kalau informasi jangan bersumber medsos (media tanpa sumber) dan langsung "copypaste/share", nanti bisa bernuansa politik, ekonomi, sampai agama. Informasi harus ada sumber resmi (narasumber, bukan cuma foto, video, grafis). Kalau noninformasi (humor, curhat, motivasi/tips, pemberitahuan, dan chat semacamnya) bisa tanpa menunggu narasumber.
Terjadi di Bali
Fakta dari "pasien medsos" itu terjadi juga di Bali.
"Kami sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, pasien itu masuk kriteria dalam pengawasan, belum terkonfirmasi positif corona," kata Kepala Bidang Pelayanan Medis RSU Negara dr I Gede Ambara Putra di Negara, Kabupaten Jembrana, Kamis (12/3).
Awalnya, pasien berusia 62 tahun itu dirawat di salah satu rumah sakit swasta selama dua hari.
Baca juga: Pemprov Bali batasi kegiatan libatkan banyak orang
Pihak rumah sakit lalu menghubungi sejumlah rumah sakit rujukan, seperti RSU Tabanan, RSUP Sanglah, RSU Sanjiwani yang semuanya menyatakan ruang isolasi mereka penuh, sehingga dirujuk ke RSU Negara.
"Untuk kondisi pasien terkini, batuk dan pilek yang diderita sudah berkurang, namun untuk memastikan kondisi pasien tersebut masih menunggu hasil laboratorium dari rumah sakit rujukan," kata dr Nara Kusuma Wirawan yang menangani pasien yang viral di medsos itu.
Sebelum masuk rumah sakit, pasien ini memiliki riwayat menjalankan umrah di Arab Saudi, kemudian transit di Singapura.
"Saat pemeriksaan di bandara dinyatakan tidak masalah melanjutkan penerbangan ke Bali. Kondisi pasien sendiri saat ini sudah membaik, namun kami masih menunggu hasil laboratorium," katanya.
"Pasien medsos" yang viral juga ada di Kabupaten Klungkung.
Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta membantah telah menutupi informasi keberadaan warga negara asing (WNA) yang menjadi pasien di ruang isolasi RSUD Klungkung dan menjadi perbincangan warga maya di medsos dalam 1-2 hari terakhir.
Dalam jumpa pers didampingi Sekda Gede Putu Winastra, Dirut RSUD Klungkung dr Nyoman Kesuma dan Sekdis Kesehatan Ida Ayu Megawati, Kamis (12/3), Bupati Suwirta membenarkan bahwa ada pasien WNA perempuan berumur 20 tahun yang sedang dirawat dengan status pasien dalam pengawasan di ruang isolasi RSUD Klungkung.
"Kami menunggu hasil pemeriksaan yang lebih pasti dan bukan bermaksud menutupi informasi. Untuk memberi rasa tenang kepada masyarakat, maka kami melaksanakan protokoler yang sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, baru akan kami sampaikan kepada masyarakat," katanya.
Sekretaris Dinas Kesehatan Pemkab Klungkung Ida Ayu Megawati menjelaskan pasien itu rujukan dari RS Pratama Nusa Penida yang diseberangkan dengan kapal roro dan dilanjutkan menggunakan ambulans ke RS Klungkung.
"Pasien tiba di RSUD Klungkung pada hari Rabu (11/3), pukul 07.00 Wita. Saat dirujuk, WNA ini memiliki gejala batuk, pilek, namun tidak ada demam. Sebelum ke Nusa Penida, pasien sudah ada riwayat 'traveling' ke Singapura," katanya.
Dengan riwayat itulah, pihaknya memutuskan untuk melakukan pemantauan dan rontgen.
"Saat ini, kondisi pasien sudah stabil, nafsu makan masih bagus, suhu tubuh 36 derajat Celsius. Kondisi ini sudah dilaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi Bali yang selanjutnya diminta supaya dirujuk ke RS Rujukan Regional yakni RS Sanglah," katanya.
Baca juga: Kemenkumham: 112 warga asing ditolak masuk ke Bali
Bupati Suwirta menambahkan setelah mengantarkan pasien, ambulans dan kapal roro diinstruksikan supaya dilakukan penyemprotan cairan desinfektan atau cairan alkohol 70 persen.
"Jangan panik, tapi tetap waspada dan senantiasa menjaga kesehatan serta tidak sembarangan menyebarkan berita yang belum pasti agar tidak ada kepanikan," katanya.
Hingga kini (12/3), Direktur Utama RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, dr I Wayan Sudana menyatakan pihaknya merawat 12 pasien dengan status pasien dalam pengawasan.
"Hasil laboratorium sudah keluar untuk enam pasien dan keenamnya negatif, namun enam pasien lainnya masih dalam pengawasan dan menunggu hasil laboratorium," katanya.
Sebanyak sembilan di antara 12 pasien tersebut WNA, sedangkan tiga lainnya WNI.
Hingga saat ini, di RSUP Sanglah sudah disiapkan 18 kamar untuk penanganan pasien dalam pengawasan COVID-19.
"Mulai dari pertama kita siapkan empat, menjadi enam, dan bertambah saat ini menjadi 18 kamar," katanya.
Untuk tenaga medis, ia mengatakan semua perawat yang memiliki kompetensi dan kemampuan penanganan-penanganan pasien infeksi akan ditarik dari beberapa ruangan itu.
"Ini kita atur setiap penambahan, kita tarik lagi, jadi bagaimana penggunaan tenaga medis seefisien mungkin," jelasnya.
Terkait dengan dokter spesialis di rumah sakit itu, jumlahnya relatif cukup sehingga tidak ada masalah.
Tim yang akan bertugas, di antaranya dokter penyakit paru, dokter spesialis konsultan penyakit tropis, dari radiologi dan anestesi.
Artinya, rumah sakit di Bali sudah siap menangani virus yang cukup membuat masyarakat panik dan heboh di dunia maya itu.
"Pasien Medsos" dan kesiapan rumah sakit rujukan COVID-19 di Bali
Sabtu, 14 Maret 2020 10:49 WIB