Badung (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Badung berpotensi kehilangan pendapatan sekitar Rp1,6 triliun akibat kebijakan pemerintah pusat yang meminta daerah tidak memungut pajak hotel dan restoran (PHR) selama enam bulan di 10 destinasi pariwisata termasuk Bali, terkait dampak COVID-19 atau virus corona terhadap pariwisata.
"Ini kan jumlah pastinya belum, tapi kalau kami bercermin pada capaian PHR tahun 2019 itu Rp1,6 triliun kurang lebih selama enam bulan," ujar Kepala Badan Pendapatan dan Pasedahan Agung Kabupaten Badung I Made Sutama saat dikonfirmasi dari Mangupura, Sabtu.
Ia mengatakan 80 persen dati total pendapatan Badung berasal dari PHR. Tahun lalu, PHR tercatat menyumbangkan pendapatan sekitar Rp3,2 triliun untuk Badung selama satu tahun.
"Kalau dari sektor lain itu kecil, hanya sekitar 20 persen. Itu contohnya dari air tanah, pajak reklame dan Pajak Bumi dan Bangunan," katanya.
Ia menambahkan kebijakan pembebasan PHR selama enam bulan itu hingga saat ini masih belum diterapkan di wilayah Badung karena pihaknya belum menerima pemberitahuan secara resmi dari pemerintah pusat terkait kebijakan itu.
"Sebelum ada keputusan resmi dari pusat, pajak bulan Februari yang dibayar bulan Maret tetap harus dilaksanakan," ungkap Made Sutama.
Sementara itu, Wakil Bupati Badung I Ketut Suiasa mengatakan Pemkab Badung tidak pada posisi mendukung maupun menolak kebijakan pemerintah pusat terkait penghentian pungutan PHR selama enam bulan itu.
"Namun, kami berharap pemerintah pusat dapat mengkaji ulang kebijakan tersebut sehingga Badung mendapatkan hak yang proporsional," katanya.
Ia menambahkan untuk mengantisipasi COVID-19 yang berdampak pada kunjungan wisatawan ke Bali dan Badung khususnya, Pemkab Badung juga terus berusaha mengambil langkah-langkah salah satunya menyelenggarakan Focus Group Discussion dengan Nawa Cita Pariwisata Indonesia beberapa waktu lalu.
Hal itu dilakukan sebagai wujud sinergitas komunikasi antara seluruh elemen pelaku industri pariwisata untuk merespon situasi terkini tentang penurunan kunjungan wisatawan khususnya wisatawan dari China.
"Kami dengan seluruh pemangku kepentingan atau stakeholder pariwisata harus bersinergi untuk mencari titik temu solusi yang praktis, produktif, strategis serta efektif agar dampak negatif pariwisata saat ini tidak boleh terlalu lama kami alami," ujarnya.