Denpasar (ANTARA) - Bali yang alamnya indah tak luput dari kerawanan bencana yang dapat terjadi kapan saja. Berada di wilayah pertemuan lempeng Eurasia dan Indo-Australia membuat Pulau Dewata rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
Setidaknya ada tiga sumber gempa bumi di Bali seperti megathrust Sumba di perairan selatan Bali, busur naik belakang Flores di bagian Utara, dan 30 sesar di darat.
Salah satu daerah paling rawan tersapu bersih ketika gelombang air laut menggulung adalah pesisir Tanjung Benoa di Kabupaten Badung.
Daerah rawan ini belakangan digemari wisatawan elit, selain karena keindahan alamnya juga karena terletak tak jauh dari komplek ITDC dan tempat-tempat perhelatan internasional.
Pangsa pasar yang jelas membuat industri pariwisata berbondong-bondong mencari rupiah dan dolar di sana, namun dunia usaha tak menutup mata soal besarnya ancaman bahaya yang dapat menghilangkan banyak nyawa.
Jika berkaca dari tsunami Aceh 20 tahun lalu, 200 ribu lebih penduduk kehilangan nyawa akibat air bah dan gempa bermagnitudo 9,3.
Bahaya yang sama juga mengancam penduduk lokal Tanjung Benoa, apalagi sejarah mencatat Bali pernah diterjang tsunami dahsyat tahun 1815 yang dipicu gempa bumi dengan magnitudo 7,5 dan menewaskan 10 ribu orang.
Berangkat dari masa kelam itu, dengan dukungan sektor pariwisata, Tanjung Benoa bangkit, dengan kecerdasannya, masyarakat membangun kesiapsiagaan bersama dunia usaha.
Peran Pariwisata
Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah kesediaan hotel-hotel yang berada di Tanjung Benoa untuk membuka pintu lebar bagi seluruh penduduk mengevakuasi diri jika terjadi tsunami.
Penata Penanggulangan Bencana Ahli Madya BPBD Badung I Wayan Netra mencatat sejak 2021 hingga saat ini sudah ada sembilan hotel yang sepakat dan layak menjadi lokasi berlindung masyarakat dan wisatawan.
Hotel tersebut antara lain Grand Mirrage Resort, Ion Bali Benoa, The Sakala Resort, Novotel, Benoa Sea Suites and Villas, Paninsula, Rasa Sayang Beach Inn, dan terbaru Hotel Sadara dan Hotel Lavaya.
Tidak sembarang hotel menjadi lokasi evakuasi, mereka wajib lolos sertifikasi, ketinggian tiga lantai, dan memiliki struktur bangunan yang kokoh. Untuk hal tersebut, sudah teruji saat gempa bumi Lombok 2018 silam. Tidak ada keretakan yang dialami hotel-hotel itu walau getaran gempa dengan magnitudo lebih dari 7 itu turut mengguncang Bali Selatan.
Keterlibatan peran industri pariwisata ini dibangun lewat edukasi dan simulasi rutin, memastikan seluruh penduduk tahu kemana mereka harus berlari ketika muncul tanda-tanda tsunami.
Sembilan hotel yang sepakat secara resmi membantu penduduk ini berada tersebar di sepanjang jalan utama Tanjung Benoa, tiap masyarakat dibagi bangunan tinggi mana yang harus dituju sesuai tempekan atau kelompok jalan rumah.
Mereka hanya memiliki waktu emas 20 menit untuk menyelamatkan diri ketika air bah sampai ke daratan, sehingga semuanya harus terstruktur.
Meski area ini paling rawan, seluruh wilayah Kabupaten Badung terutama pesisir juga berpotensi terdampak, terdapat 17 kelurahan/desa lain di sekitarnya sehingga ditargetkan 200 hotel bisa membantu evakuasi penduduk.
Komitmen dunia usaha dalam kesiapsiagaan tsunami tidak hanya melalui bantuan mitigasi pasca-bencana, namun juga antisipasi lewat gerakan penanaman mangrove di pesisir dalam bentuk tanggung jawab sosial.
Kearifan Lokal
Kemampuan dalam memanfaatkan keberadaan sektor pariwisata tidak lepas dari koordinasi yang baik dari warga setempat, mereka sejak lama memiliki forum pengurangan risiko bencana (FPRB) karena kesadaran tinggi bahwa tanah yang mereka pijak sangat rawan bencana.
Dalam menanggulangi bencana, unsur pentahelix antara komunitas masyarakat, pemerintah, swasta, akademisi, dan media berjalan beriringan.
Masyarakat saling mengedukasi dan mengingatkan tindakan yang harus dilakukan ketika terjadi bencana, pemerintah mengoptimalkan rambu-rambu, membangun pusat komando berisi informasi real time kebencanaan dengan alat early warning system (EWS) milik BKMG, dan mengabarkan informasi seluas-luasnya, serta swasta memberi ruang berlindung bagi masyarakat.
Sinergi dalam pengurangan risiko bencana ini menjadi keunggulan masyarakat Tanjung Benoa, sejak lama kebiasaan komunikasi yang baik sudah terjalin antara warga adat dan warga dinas.
Selain itu, kearifan lokal yang mereka miliki adalah kemampuan membaca tanda-tanda alam, seperti air laut seketika terkuras dan muncul gelombang air tinggi, gempa bumi diikuti suara anjing menggonggong keras, hingga bau belerang yang menyengat.
Kesiapsiagaan ini membuat Tanjung Benoa menjadi barometer desa/kelurahan yang siap bencana meskipun daerah lain di Bali juga memiliki tingkat kerawanan tak jauh berbeda.
Pada 2022 lalu UNESCO akhirnya mengukuhkan Kelurahan Tanjung Benoa sebagai kelurahan tanggap tsunami, seluruh unsur di dalamnya dianggap mampu karena lolos dalam 12 indikator yang dikelompokkan dalam penilaian, kesiapan, dan respons yang baik.
Pengakuan ini tidak sekadar penghargaan, namun diiringi dengan fakta lapangan yang didapat UNESCO, yaitu komitmen masyarakat melalui simulasi rutin tiap bulan.
Pada tanggal 26 setiap bulan, komunitas masyarakat, swasta, terutama siswa rutin menggelar simulasi gempa bumi hingga tsunami.
Mereka dilatih agar terbiasa dengan kondisi ini, masyarakat tahu langkah awal yang harus dilakukan bahkan jika dibutuhkan mereka tahu harus lari ke hotel tertentu untuk berlindung.
Walaupun sejumlah hotel berkomitmen membantu masyarakat, bencana tsunami tak dapat dianggap remeh, masyarakat masih memerlukan penampungan khusus sebab daya tampung hotel belum sebanding dengan jumlah warga Tanjung Benoa yang lebih dari 5.000 orang.
Selain itu kunjungan wisatawan kian melonjak, data Dinas Pariwisata Bali menunjukkan okupansi hotel sudah mencapai 100 persen di wilayah Bali Selatan pada penghujung 2024 ini.
Hal ini menandakan hotel-hotel akan terisi penuh, ketika terjadi bencana maka hotel juga perlu mengevakuasi wisatawannya terlebih dahulu sehingga masyarakat tak boleh sepenuhnya bertumpu pada bantuan pariwisata.