Denpasar (ANTARA) - Anggota DPD RI Made Mangku Pastika mengusulkan dan mendorong Pemerintah Provinsi Bali untuk mengeluarkan peraturan gubernur yang mengatur mengenai "tipping fee" atau biaya layanan pengolahan sampah, sebagai solusi untuk mempercepat penyelesaian polemik sampah di Pulau Dewata.
"Solusi cepat yang bisa dikeluarkan pemerintah daerah adalah melalu pergub tipping fee dan UU memberikan wewenang untuk hal tersebut," kata Mangku Pastika saat menyampaikan masukan dalam kunjungan kerja Komite II DPD RI ke Pemprov Bali terkait revisi UU No 18 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah, di Denpasar, Selasa.
Mangku Pastika menceritakan ketika masih menjabat Gubernur Bali, sekitar 55 perusahaan dari berbagai negara sudah melakukan presentasi, bahwa dengan kecanggihan teknologinya dapat mengelola sampah di TPA Regional Sarbagita Suwung, Denpasar yang setiap harinya sampah yang masuk mencapai sekitar 1.000 ton.
Tetapi untuk bisa memanfaatkan alat dengan sistem teknologi yang canggih tentunya dibutuhkan biaya dan itu bisa didapatkan dari "tipping fee". Bahkan dirinya saat itu sudah menitipkan pesan kepada Bupati Badung Nyoman Giri Prasta saat melantik Bupati Badung untuk serius menyelesaikan persoalan sampah karena Badung memiliki APBD yang besar.
"Sekarang bisa dilihat betapa beratnya Kabupaten Badung menghadapi persoalan sampah, di tengah posisi kabupaten tersebut sebagai daerah pariwisata. Padahal jika mau berinvestasi untuk pembelian alat pengolahan sampah yang modern itu Kabupaten Badung sebenarnya bisa," ucapnya pada acara yang dihadiri Kadis Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali, serta kabupaten/kota itu.
Menurut Pastika, dengan banyaknya investor yang tertarik mengelola sampah di TPA Suwung, itu menandakan ada potensi keuntungan yang bisa diperoleh dari pengolahan sampah.
"Rapat seperti ini membahas persoalan sampah mungkin sudah 50 kali pernah dilaksanakan, tetapi karena persoalan politik, potong sana, potong sini, akhirnya 'nggak' bisa selesai," ucapnya.
Padahal jika persoalan sampah masih terus berlarut-larut, kata Pastika, yang bisa di-class action itu gubernur dan bupati/wali kota.
Pastika mengemukakan setidaknya ada tiga strategi yang dapat ditempuh untuk mengurai persoalan sampah di Bali. Yang pertama, pentingnya edukasi kepada masyarakat agar jangan menganggap alam sebagai "tong sampah".
Selama ini, seringkali selokan dan sungai dengan seenaknya digunakan masyarakat untuk membuang sampah. Semestinya, kata Pastika, Bali dapat mencontoh budaya bersih dari Singapura yang masyarakatnya begitu tertib membuang sampah.
"Yang kedua, diperlukan komitmen yang kuat pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan sampah, dan yang ketiga diperlukan insentif untuk pengembangan energi terbarukan," katanya.
Pastika mengatakan betapa berharganya lingkungan yang sehat hingga wisatawan yang berbondong-bondong datang ke Bali jika sampah sudah terkelola dengan baik.
Sementara itu, Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai mengatakan rombongan Komite II sengaja memilih Bali sebagai daerah untuk mencari masukan mengenai usulan revisi UU Pengelolaan Sampah karena Bali telah memiliki reputasi yang baik dalam pengelolaan sampah.
"Kebetulan Bapak Made Mangku Pastika yang mantan gubernur juga di Komite II, jadi kami mau tahu persis bagaimana pengolahan sampah yang bisa digali dari pihak pemerintah daerah," ucap senator dari Papua itu.
Selain Bali, pihaknya juga mencari masukan ke Provinsi Aceh dan Kalimantan Utara. "Dari masukan yang kami dapat, nantinya akan kami bawa ke paripurna tentang bagaimana pengelolaan sampah yang benar dan profesional. Apalagi selama ini masih ada persoalan terkait birokasi, regulasi, hingga nomenklatur persoalan sampah ditangani Lingkungan Hidup dan PUPR," katanya.
Menurut dia, memang harus harus pergub yang mengatur persoalan tipping fee, karena jika hanya menunggu dari pemerintah pusat, persoalan sampah tidak bisa menunggu.
"Sampah itu diproduksi tiap hari. Oleh karena itu diperlukan terobosan teknologi maupun lompatan-lompatan untuk perbaikan regulasi menyelesaikan persoalan sampah. Untuk adopsi teknologi, kenapa tidak dimulai dari kabupaten/kota?," ucapnya.
Sejumlah anggota Komite II DPD RI juga mengapresiasi Bali telah mengeluarkan Pergub No 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai dan juga Pergub Bali No 47 Tahun 2019 tentang Pengelolan Sampah Berbasis Sumber.
"Kedua pergub tersebut bisa menjadi contoh bagi daerah lain, di tengah kondisi UU No 18 Tahun 2018 yang masih menyimpan tunggakan aturan turunannya, diantaranya soal limbah B3, hingga perda yang mengatur tata cara pelayanan pengelolaan sampah," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah perwakilan Dinas Lingkungan Hidup kabupaten/kota juga mengeluhkan masih minimnya sarana prasarana untuk pengolahan sampah, seperti halnya berbelitnya pengadaan alat berat yang padahal cepat mengalami kerusakan.
Selain itu, besaran retribusi sampah yang masuk dengan anggaran untuk pengelolaan sampah yang jauh timpang, seperti yang disampaikan perwakilan Pemerintah Kota Denpasar yang menyebutkan dana retribusi yang masuk yang didapat dari pengenaan satu truk sampah ke TPA sebesar Rp3.500, total setahun sekitar Rp2,5 miliar. Padahal anggaran yang dibutuhkan untuk pengolahan sampah sebesar Rp75 miliar.
Anggota DPD dorong Pergub Bali soal "tipping fee"
Rabu, 29 Januari 2020 7:42 WIB