Denpasar (ANTARA) - Pengamat dan praktisi hukum, I Kadek Agus Mulyawan SH MH menyatakan selama ini pelanggaran merek dagang di Bali belum maksimal mendapat banyak perhatian para penegak hukum, bahkan ada sampai merugikan masyarakat.
"Saya amati merebaknya kasus pemalsuan merek yang merugikan masyarakat selaku konsumen ternyata belum mendapat perhatian maksimal dari penegak hukum. Terbukti, pelanggaran hukum pemalsuan merek berkenaan dengan banyaknya praktek pemalsuan merek di lapangan makin marak. Salah satunya baru-baru ini, merek dagang, yakni Blue Bird Group sebagai salah satu perusahaan taksi terbesar di Bali banyak yang ditiru," kata Agus Mulyawan di Denpasar, Kamis.
Ia mencengangkan lagi sampai tanda pengenal pun dibuat seidentik mungkin, sehingga mengelabuhi pelanggannya. Bahkan, salah satu pelakunya yang diduga memalsukan kartu tanda pengenal (Id card) pengemudi Blue Bird Group sudah ditetapkan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Denpasar.
Oleh karena itu, kata dia, tentunya masyarakat perlu diedukasi, terutama dari sisi kajian hukum akibat pelanggaran merek yang dilakukan beberapa subyek hukum baik perorangan maupun perusahaan dengan tujuan untuk mendapat keuntungan lebih, sedangkan mereknya dapat tercemar.
Ia menjelaskan perbuatan pihak lain yang menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lainnya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang di produksi dan/atau diperdagangkan, menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah perbuatan yang dilarang dan termasuk jenis pelanggaran.
"Hukumannya diancam 5 (lima) tahun dan apabila mengakibatkan gangguan kesehatan dan kematian ancaman 10 tahun, dan jika orang lain yang tertipu akibat merek yang tidak sama, korban bisa melaporkan pasal penipuan dengan ancaman 4 (empat) tahun penjara," katanya.
Pengacara putra Bali yang berkantor di Kantor Hukum Agus M and Associates ini juga menegaskan bahwa kasus tindak pidana merek itu berbeda dengan tindak pidana biasa, sehingga terkesan lambat penegakan hukumnya di Indonesia. Apalagi, sebagaimana dalam Undang-Undang tersebut dengan jelas ditentukan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 100 sampai dengan pasal 102 merupakan delik aduan.
"Implikasi dari delik aduan berarti bagi pihak penegak hukum sifatnya hanya menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Dengan kata lain jika tidak ada yang mengadu, maka sekalipun telah terjadi pelanggaran merek, aparat penegak hukum dapat saja mengabaikan atau membiarkan pelaku bebas tanpa diproses secara hukum," ucap Agus.
Namun disebutkan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut, karena adanya aduan. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik ini biasa pelakunya dituntut oleh aparat tanpa harus menunggu aduan dari pihak tertentu dengan perkataan lain tidak perlu ada aduan langsung aparat Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan.
"Kondisi UU Merek tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana pelanggaran, sehingga tidak begitu membawa dampak luas penegakan hukum merek, karena pelanggaran dibandingkan penegakan hukum merk karena kejahatan," ucapnya.