Oleh I Putu Puspa Artayasa
Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan yang sedang digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 sudah mulai disosialisasikan.
Tidak hanya anggota DPR, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) makin aktif ke daerah-daerah untuk menjaring aspirasi tingkat akar rumput terkait RUU tersebut sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Meskipun demikian, tidak banyak masyarakat yang memahami isi undang-undang tersebut, termasuk kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang sampai sekarang masih banyak yang menerima draf RUU itu.
Bahkan, sejumlah LSM di Bali khawatir undang-undang itu kelak dapat membelenggu aktivitas mereka selama ini.
"Kami berharap UU itu tidak membatasi ruang gerak LSM," kata Ketua Barisan Pendukung Reformasi Rakyat Gianyar (BPRRG) Ngakan Ketut Putra.
Ia menilai bahwa selama ini banyak sekali aturan yang dibuat oleh pemerintah namun tidak mudah untuk diimplementasikan di lapangan.
Dia berharap bila undang-undang itu telah berlaku, pemerintah benar-benar menunjukkan transparansinya kepada masyarakat terutama terkait dengan program perwujudan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Sekretaris LSM Bali Lestari I Wayan Rukiasta mengatakan selama ini LSM sangat membutuhkan kekuatan investigasi dalam berbagai hal untuk mendukung terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Oleh sebab itu, dia berharap Undang-Undang mengenai Keterbukaan Informasi dijalankan secara konsekuen sebelum mengesahkan RUU Ormas.
Selama ini, Rukiasta mengakui UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan hanya mengakomodasi sebagian kecil kewenangan LSM dalam mendapatkan informasi pembangunan di daerah.
Begitu juga pula dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme sampai saat ini tidak pernah dijalankan secara konsekuen.
Apalagi UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, papar dia, sama sekali tidak menjamin keterbukaan informasi seperti yang diharapkan masyarakat selama ini.
Oleh karena itu, undang-undang demi undang-undang yang disahkan terkesan hanya untuk memenuhi target pengesahan legislasi dalam periode tertentu dan terkesan hanya menghambur-hamburkan uang rakyat.
Ketua Gerakan Sadar Hukum Indonesia (Grashi) Kabupaten Gianyar I Wayan Sudiasa justru terkejut dengan adanya RUU Ormas tersebut.
"Sosialisasi saja tidak ada, apalagi draf RUU. Bagaimana kami bisa memberikan masukan?" katanya mempertanyakan, saat dimintai komentarnya mengenai RUU Ormas itu.
Ketua Barisan Rakyat Berforum (Barraf) I Wayan Suardina justru enggan bicara soal Undang-Undang.
"Buat apa bikin undang-undang kalau kenyataannya hanya buang-buang uang," katanya.
Berbeda dengan I Wayan Sudira selaku Ketua Lembaga Kajian Masyarakat Sosial yang sangat setuju dengan RUU tersebut sesuai dengan UU Nomor 8 tahun 1985 dan peraturan pelaksanaannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Forum Peduli Blahbatuh I Made Sudiangga.
Ia menyetujui RUU Organisasi Kemasyarakatan itu asalkan dapat memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mengontrol pemerintah.(**)
RUU Ormas, Belenggu Bagi LSM?
Minggu, 2 Oktober 2011 11:24 WIB