Oleh Yanes Setat
Karangasem, (Antara Bali) - Selama ini orang hanya mengenal pasukan kera dalam cerita pewayangan Ramayana, atau lewat pertunjukan film yang sebagian besar hasil rekaan dengan skenario fiksi.
Berbeda dengan di kawasan Bukit Cemeng, Desa Telengan, Kabupaten Karangasem, Bali, tercatat telah sejak lama dihuni ratusan kera yang tergabung dalam suatu pasukan yang cukup terorganisasi.
Pasukan kera tersebut menempati kawasan puncak Bukit Cemeng, yakni sebuah tonjolan di permukaan bumi yang nyaris berbentuk krucut setinggi kurang lebih 1.500 meter di atas permukaan laut.
Beberapa warga yang bermukim pada ketingian antara 500 sampai 800 meter di atas permukaan laut, mengisahkan bahwa di bagian puncak bukit tersebut telah sejak lama dijaga sepasukan kera.
Kera yang dalam pola hidupnya nyaris mengenal tatanan bermasyarakat seperti layaknya manusia, disebutkan memiliki seekor 'komandan' yang diketahui memegang tali komando atas wilayah kekuasaannya.
Bila sang 'komandan' memekikkan suara tertentu, pasukan kera akan melakukan tindakan tertentu pula, mulai dari menyerbu sesuatu yang dianggap musuh, atau bergotong-royong mengerjakan tugas sesuai perintah 'atasan'.
Menurut cerita lama, pasukan kera berada di kawasan puncak bukit untuk menjaga keberadaan Pura Pucuk Sari, sebuah tempat peribadatan dan bersemedinya sejumlah Raja Karangasem.
Pura yang menempati dataran tidak lebih dari 30X10 meter persegi, tepat di bagian puncak krucut Bukit Cemeng itu, hingga kini masih dipakai tempat peribadatan oleh umat Hindu dari berbagai daerah di Pulau Dewata.
Berkenaan dengan 'piodalan' atau ritual pura yang jatuh per enam bulan sekali, Selasa (30/8) lalu kawasan itu tampak dibanjiri ribuan 'pemedek' atau umat Hindu yang hadir untuk melakukan persembahyangan bersama.
Beberapa jam sebelum matahari bangkit dari ufuk timur, ribuan 'pemedek' telah mulai merayap mendaki lereng selatan Bukit Cemeng, masuk dari bagian ujung utara Desa Telengan, Kecamatan Manggis, sekitar 75 kilometer timur Kota Denpasar.
Wartawan ANTARA dari puncak Bukit Cemeng melaporkan, sembahyang bersama berkenaan dengan 'piodalan' itu, dilakukan umat di Pura Pucak Sari yang berlokasi persis di bagian puncak bukit setinggi kurang lebih 1.500 meter di atas permukaan laut.
Untuk bisa sampai ke bagian puncak bukit yang nyaris tak pernah sirna dari 'selimut' kabut, umat harus menempuh jalan setapak sejauh kurang lebih tujuh kilometer.
Jalur yang sesungguhnya tidak tergolong jauh itu, harus ditempuh umat antara tiga sampai 3,5 jam. Masalahnya, jalan setapak satu-satunya yang harus dilalui 'pemedek', rata-rata memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat, bahkan di beberapa lokasi nyaris tegak lurus.
Tidak hanya itu, di sebagian besar ruas jalan setapak yang harus dilalui, diapit oleh jurang yang cukup terjal. Dengan medan pendakian yang tergolong cukup berat itu, umat yang tampaknya kurang hati-hati, tidak sedikit yang kemudian terperosok.
Namun tergolong mujur, tak tercatat ada 'pemedek' yang mengalami luka-luka atau bahkan sampai jatuh ke dalam jurang yang cukup dalam, karena di bagian kiri kanan jalan setapak itu penuh dengan pepohonan dan belukar yang berfungsi sebagai pagar.
Tumbuhan berfungsi ganda
Jro Mangku Komang Wenten, tokoh spiritual desa setempat mengatakan, aneka tumbuhan yang berderet di bibir jurang, ternyata telah berfungsi ganda, yakni selain sebagai 'pagar' bagi jalan setapak, juga peredam hembusan angin yang sering bertiup kencang.
"Cukup banyaknya tumbuhan telah mengurangi daya tiup angin yang tidak jarang bisa menghempaskan tubuh seseorang yang tengah melintas di jalanan yang menanjak terjal itu," ujarnya.
Meski demikian, kata dia, sejauh ini belum ada 'pemedek' yang sampai terperosok jatuh ke dalam jurang saat melintas di jalan setapak dengan 'seabreg' kesulitan medannya tersebut.
Senada dengan Mangku Wenten, I Made Mertha, petugas Puskesmas Kecamatan Manggis yang wilayahnya meliputi Desa Telengan, menyebutkan, sejauh ini belum ada umat yang mengalami luka serius setelah terperosok di jalur lintasan menuju pura yang dulunya sering dipakai tempat bersemedi oleh Raja Karangasem.
Menurut Mertha, wilayah tersebut selain tergolong keramat hingga banyak dimanfaatkan untuk aktivitas spriritual, juga tidak sedikit ditemukan keganjilan.
Keganjilan tidak hanya ada beberapa bangungan pura yang tidak bisa diabadikan gambarnya dengan kamera apapun, tetapi juga kawasan itu dijaga oleh sekelompok kera liar.
"Jika ada orang yang membawa barang yang tidak berkenan untuk dimasukkan ke dalam pura, puluhan kera tersebut akan datang menyerbu," ucapnya.
Sebagai contoh, bagian atap beberapa bangunan bale-bale di kompleks pura yang biasa menggunakan anyaman ijuk, pernah diganti warga dengan atap genteng. "Apa akibatnya?. Begitu bangunan tersebut usai diberi atap, esok paginya semua genteng telah kembali berada di atas permukaan tanah. Uniknya, tak ada satu genteng pun yang pecah," ujarnya, mengenang peristiwa belasan tahun silam.
Begitu juga saat ada orang yang ingin mencoba mengambil sesuatu di kawasan pura, tiba-tiba saja mendengar pekik "Koek..koek..' yang bersumber dari sang 'komandan' kera. Beberapa saat berselang, ratusan monyet menyerbu orang tersebut.
Tergolong mujur, kata Made Mertha, orang tersebut tidak dikeroyok kera karena memang belum berhasil mengambil sesuatu. "Jadi baru ada niat saja, pasukan kera sudah datang," ujar Made Mertha, sambil berdecak.
Pada 'piodalan' siang itu, ribuan 'pemedek' tampak khusuk melakukan persembahyangan di bawah sinar matahari yang tampak malu-malu akibat tebalnya gumpalan kabut yang turun tak kunjung putus.
Menurut warga, bukit yang banyak ditumbuhi aneka buah-buahan itu, bagian puncaknya nyaris tak pernah sirna deri selimut kabut. Itu sebabnya orang menamakannya sebagai Bukit Cemeng.
Cemeng, berasal dari bahasa Bali 'semeng', yang artinya pagi-pagi. Masuk akal, sebab penduduk yang mendaki nyaris tak pernah merasakan suasana siang hari di bagian puncak bukit tersebut.
"Coba Bapak rasakan sendiri. Ini hari sudah pukul 12.30 Wita, namun rasanya masih pagi-pagi kan," ujar Mangku Wenten saat ditemui wartawan di puncak bukit.
Selain itu, ada juga versi lain yang menyebutkan bahwa cemeng berasal dari bahasa Kawi, yang artinya hitam. Seperti yang terlihat, sebagain besar bangunan pura menggunakan aksesori atau dibalut dengan busana hitam.
Menurut kepercayaan umat Hindu, hitam merupakan unsur warna yang melambangkan Dewa Wisnu yang beristana di Pura Pucuk Sari, yang kini dijaga pasukan kera.(*)