Denpasar (Antaranews Bali) - Budayawan sekaligus guru besar Institut Seni Indonesia Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia mengharapkan pementasan sendratari rekonstruksi "Jayaprana" dapat menstimulasi atau mendorong mahasiswa dan para dosen untuk melahirkan karya seni monumental.
"Mudah-mudahan, sumbangan kecil ini bisa menjadi pemicu bagi para seniman-seniman kreatif di ISI Denpasar untuk terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas demi kebaikan kampus ke depan," kata Prof Dibia saat menyampaikan sambutan sebelum pementasan sendratari tersebut, di Denpasar, Minggu malam.
Garapan sendratari rekonstruksi "Jayaprana" itu sebagai bentuk persembahan Prof Dibia yang memasuki masa purnabakti (pensiun) mulai 1 Mei 2018, setelah 44 tahun mengabdi di ISI Denpasar.
"Mudah-mudahan dengan rekonstruksi sendratari karya empu seni I Wayan Beratha ini, mahasiswa yang masih studi di kampus ISI akan bisa membedakan mana yang sendratari, dramatari, teater tari dan mana oratorium tari," ucapnya.
Apalagi, ujar Dibia, setelah ISI Denpasar mendapat akreditasi A. "Mendapatkannya mungkin tidak terlalu sulit karena Bapak Rektor begitu gencar mengarahkan kami semua. Tetapi mempertahankan bahkan meningkatkan inilah menjadi tantangan," ujar akademisi yang kembali diangkat menjadi dosen non-PNS di ISI Denpasar itu.
Dalam acara tersebut, Prof Dibia juga meluncurkan buku autobiografi berjudul "Kembara Seni I Wayan Dibia sebuah Autobiografi".
Dalam buku itu, secara garis besarnya mengisahkan perjalanan hidupnya terutama sejak 1969, saat Dibia menjadi penari Hanoman untuk pertama kalinya.
"Saat itu, Pak Bandem tiba-tiba memberikan mandat kira-kira lima jam sebelum pentas di Galiran, dikasi pakaian Hanoman, gelungan, topeng, dan diperintahkan untuk latihan perang-perangan. Pada malam itulah saya menjelma dari penabuh menjadi penari," ucapnya.
Sejak peristiwa itulah yang akhirnya mengubah posisinya sebagai seniman dari penabuh menjadi penari. "Oleh karena itu dalam figur ini saya pasang figur Hanoman sebagai salah satu image di buku ini," katanya.
Garapan tersebut juga bisa dikatakan istimewa, karena sendratari yang direkonstruksi inilah yang dulu memberikan landasan bagi perkembangan berkesenian di Bali. Namun, dia mengamati perkembangan sendratari belakangan ini justru mulai bergeser.
"Jadi, konsep garapan benar-benar dihitung, baik tari, lakon diikat oleh musik. Kalau kita lihat belakangan, banyak garapan sendratari yang bergeser, sekarang sendratari hanya jadi tontonan, enak ditonton saja tetapi konsepnya lemah. Sedangkan garapan ini, kita tentukan dengan terukur, dalang ruangnya terukur, penari, lakon dan iringan benar-benar terukur," katanya.
Garapan sendratari Jayaprana ini dibagi dalam tujuh babak, mulai babak pertama dari Jayaprana tinggal di gubuk di Kalianget, kemudian menginjak remaja, dan diperintahkan sang raja mencari calon istri hingga bertemu Layonsari. Namun kisah percintaan Jayaprana dan Layonsari berujung tragis.
Baca juga: Prof Dibia persembahkan sendratari rekonstruksi Jayaprana
Jumlah seniman yang dilibatkan untuk penabuh berjumlah 30 orang, termasuk Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha juga turut menjadi penabuh, kemudian penari sekitar 50 orang.
Selain sendratari, dalam acara tersebut juga tampilkan karya Prof Dibia yang terkenal yaitu Tari Manukrawa yang diciptakan sekitar tahun 1975. (adt/B015)
Prof Dibia : Sendratari Jayaprana dorong karya monumental
Minggu, 6 Mei 2018 22:41 WIB