Denpasar (Antara Bali) - Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengatakan secara tidak langsung kepala desa ikut berdosa jika tidak mendaftarkan warga miskinnya menjadi peserta penerima bantuan iuran (PBI) daerah dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.
"Kalau ada sampai rakyatnya tidak tercover, yang miskin, maka yang dosa itu adalah kepala desa. Karena kita tahunya dari dia (kepala desa-red). Kalau dia tidak mendaftarkan, bagaimana rakyatnya? Ujung tombaknya adalah kepala desa," kata Pastika dalam acara Rapat Evaluasi Pembangunan Semester II/2016, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, Dinas Kesehatan Provinsi Bali sudah bolak-balik menyosialisasikan JKN sejak 2015, namun nyatanya masih banyak warga miskin yang belum masuk menjadi peserta PBI daerah, meskipun masih ada kuota yang tersisa.
Bahkan, Pastika menceritakan salah satu kasus di Kabupaten Karangasem, seorang anak sampai meninggal dunia karena terlambat mendapat pertolongan. Hal ini gara-gara sebelumnya anak tersebut ditolak oleh pihak puskesmas karena kartu Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) yang dibawa sudah tidak berlaku seiring pengintegrasian JKBM ke dalam JKN.
"Masyarakat saya harapkan proaktif, kalau benar miskin dan tidak mampu cepat-cepatlah urus, jangan udah sakit dulu baru urus. Akibatnya tidak tertangani," ucapnya.
Demikian juga jajaran ASN Pemprov Bali diharapkan ikut menyosialisasikan tentang JKN, meskipun bukan bekerja di Dinas Kesehatan.
Sementara itu, dalam rapat tersebut Kepala UPT Jaminan Kesehatan Masyarakat Bali (JKMB) Dinas Kesehatan Pemprov Bali IGA Putri Mahadewi mengatakan hingga Februari 2017, masih ada kuota PBI Daerah yang belum terisi peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
"Kendalanya karena lambatnya proses validasi dan verifikasi masyarakat miskin di tingkat desa dan lurah," ujarnya.
Menurut Mahadewi, masih ada kesalahan persepsi dan anggapan bahwa "database" yang diberikan untuk validasi dan verifikasi data yang bersumber dari data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) tahun 2015 yang diberikan, dianggap sebagai kuota oleh desa.
"Karena integrasi dilakukan mulai Januari 2017 tentu ada mutasi penduduk. Mungkin sudah masuk menjadi peserta JKN, mungkin sudah meninggal, mungkin sudah pindah atau pindah status ekonomi. Tetapi yang terjadi, database yang diberikan langsung didaftarkan menjadi peserta JKN-KIS," ujarnya.
Mahadewi menambahkan, kepala desa/lurah sebetulnya diberi kesempatan untuk melakukan perubahan data setiap tanggal 20 setiap bulannya. Misalnya, ada PBI Daerah yang meninggal dunia atau pindah. Dengan demikian, posisi masyarakat tersebut bisa digantikan oleh masyarakat miskin lain yang belum masuk PBI Daerah.
Namun di lapangan, justru masih ada desa yang apatis atau tidak segera melaporkan perkembangan data yang terbaru.
"Proses itu di lapangan ternyata belum terpenuhi. Kondisi sampai dengan bulan Februari ini bahwa dari kuota yang kita sudah sepakati sekitar 400.749 penduduk yang didanai pemerintah, masih 155.953 belum terisi kuotanya. Harapan kami untuk segera dilakukan pengisian karena biayanya sudah kita sediakan," kata Mahadewi.
Mahadewi mengemukakan, lambatnya proses verifikasi dan validasi termasuk proses pengajuan mutasi inilah yang kemudian menghambat terbitnya kartu JKN-KIS.
Selain itu, kartu JKN-KIS yang telah dibagikan ke peserta PBI Daerah banyak pula yang dikembalikan karena salah nama, salah alamat, peserta sudah meninggal, atau pindah alamat akibat tidak dilakukan verifikasi dan validasi di tingkat desa. (WDY)