Bali bagaikan sebuah pohon raksasa dengan ribuan carang atau cabang yang menyebar hingga ke pelosok desa terpencil ke sembilan penjuru kabupaten, kota di Pulau Dewata. Memekarkan `sari-sarining` puspa yang melimpah ruah semerbak keharuman sorgawi hingga ke pelosok penjuru dunia.
Begitu harumnya carang yang memiliki sari itu, sampai-sampai Bali lebih dikenal dan terkenal dari induknya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu carang dengan sari itu, jatuh sebagai nama salah satu desa yakni Desa Carangsari, sebuah desa terletak 30 km utara Kota Denpasar tempat kelahiran I Gusti Ngurah Rai, salah seorang putra terbaik bangsa, Pahlawan Nasional yang gugur di Medan Perang melawan penjajah kolonial Belanda.
Ngurah Rai lahir 30 Januari 1917 atau 100 tahun silam dan gugur sebagai Ratna kusuma bangsa di Taman Makam Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Marga Rana Kabupaten Tabanan, 20 NOvember 1946 atau 70 tahun silam, tutur Ketua Dewan Pimpinan Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan (DHD-BPK) Angkatan 45 Provinsi Bali Prof Dr Wayan Windia.
Ia bersama Wayan Sudarta dan I Made Suarsa menulis buku "I Gusti Ngurah Rai Pahlawan Nasional Sisi-Sisi Humanis Dalam Perang Kemerdekaan Indonesia di Bali".
Secara kebetulan pula pemerintah Indonesia memberikan penghargaan kepada pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai dalam cetakan uang rupiah NKRI untuk pecahan Rp50.000.
Sebuah romantika telah terjadi di tengah-tengah revolusi terhadap seorang putra terbaik bangsa I Gusti Ngurah Rai bagaikan sebuah alur cerita dalam sebuah roman yang dimulai dari tahapan awal, melalui tahapan akhir setelah melewati tahapan tengah.
Ngurah Rai dalam usia 28 tahun kala itu meninggalkan rumah, Puri Carangsari, saat istrinya Desak Putu Kari dalam kondisi mengandung bayi dan dua orang putra yang masih kecil yakni I Gusti Ngurah Gede Yudana (4) dan I Gusti Nyoman Tantra (1), kemudian bayi yang dikandungnya itu lahirlah I Gusti Ngurah Alit Yudha, yang pernah menjadi anggota DPR RI pada masa orde baru.
Ketika itu bertepatan dengan Hari Raya Galungan, hari Kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (Keburukan), pada hari Budha Kliwon Dungulan, 19 Desember 1945 sekaligus meninggalkan Bali dalam sebuah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, 1 Januari 1946.
Namun dari buku-buku dapat mendalami, betapa bangga karena negara ini dibangun dengan perang dan revolusi yang panjang. Betapa penderitaan para pejuang bangsa ini untuk kemerdekaan, dengan mempertaruhkan segala-galanya, dari keringat, airmata, harta benda, darah hingga korban jiwa.
Di Bali sendiri hingga para pejuang kemerdekaan sudah sangat berkurang. Hanya tinggal sekitar 4.000 orang dari 24.000 pejuang kemedekaan tahun 1945-1949.
Mereka yang kini masih hidup, adalah para pejuang yang dahulu di kala perang kemerdekaan masih sangat muda-muda. Tugasnya adalah sebagai penghubung, juru masak dan kegiatan lainnya.
TKR Sunda Kecil
Perang Kemerdekaan Indonesia di Bali berlangsung selama empat tahun 1945-1949 itu dilakukan oleh para pejuang yang terhimpun dalam organisasi Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (MBO DPRI) Sunda Kecil atau sekarang dikenal dengan wilayah Nusa Tenggara.
Organisasi itu adalah organisasi militer bergabung dengan rakyat yang telah diakui oleh segenap pejuang Kemerdekaan RI khususnya di Bali. Organisasi yang lahir dalam kancah berkikobarnya perang kemderdekaan disusun menurut susunan militer melalui proses dan perkembangan keadaan pada msa itu.
Untuk menindaklanjuti Maklumat Pemerintah RI tanggal 5 Oktober 1945 tentang pembentukan Tantara Keamanan Rakyat (TKR) pada 1 November 1945 bertempat di Kantor Gubernur Sunda Kecil di Singaraja diadakan rapat untuk membentuk TKR Sunda Kecil. Rapat dipimpin Gubernur Sunda Kecil I Gusti Ketut Pudja.
Dalam rapat tersebut terpilih secara aklamasi I Gusti Ngurah Rai sebagai pucuk pimpinan (pimpinan tertinggi) TKR Sunda Kecil dengan pangkal Mayor. Berbarengan dengan itu ditetapkan pula anggota stafnya antara lain I Gusti Putu Bagus Wisnu dan Wayan Ledang.
Gusti Ngurah Rai dalam usia yang relatif muda (28 tahun) segera memainkan peran yakni mengadakan pendekatan secara persuaasif dengan pihak petinggi serdadu Jepang yang berkedudukan di Kota Denpasar. Ia memohon agar secara sukarela menyerahkan persenjataan kepada TKR Sunda Kecil.
Permohonan melalui pendekatan yang bersifat kekeluargaan itu ditolak yang kemudian merencanakan untuk melucuti serdadu Jepang secara serentak yang ada di Bali. Meskipun telah menyadari upaya yang dilakukan itu hanya bermodalkan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar masih menggunakan bambu runcing, kelewang, pentong, keris, kapak dan senjata tajam lainnya.
Sedangkan di pihak musuh (serdadu Jepang) memiliki persenjataan yang jauh lebih lengkap dan modern serta personal yang lebih berpengalaman dalam perang. Serangan tersebut dilangsungkan 13 Desember 1945 jam 24.00 di bawah komando Resimen Sunda Kecil. Gerakan pelucuran senjata pada tiap-tiap kabupaten seluruh Bali di bawah pimpinan komando TKR setempat.
Setelah itu Ngurah Rai bersama beberapa perwira berangkat ke Jawa untuk melaporkan situasi perjuangan kemerdekaan di Bali, terutama mohon bantuan personil dan senjata kepada pemerintah pusat. Selama berada di Jawa, 1 Januari-4 April 1946 pucuk pimpinan perjuangan Kemerdekaan Sunda Kecil di Bali dipegang oleh Made Widjakusuma.
Ngurah Rai setelah datang dari Jawa bersama pasukannya melakukan perjalanan panjang ke Gunung Agung di tengah tekanan yang sangat ganas dari penjajah Belanda. Serdadu Belanda dengan bantuan mata-matanya melakukan pengejaran dan penangkapan secara terus menerus, namun hal itu tidak menyurutkan perjuangan I Gusti Ngurah Rai hingga perang Puputan Margarana, 20 November 1946.
Kala itu 20 Nopember 1946 atau 70 tahun dua bulan yang silam di tengah hamparan ladang rimbun ditumbuhi tanaman jagung atau tepat di depan Candi Pahlawan Margarana di Desa Marga, Kabupaten Tabanan, I Gusti Ngurah Rai dan I Gusti Putu Wisnu memberikan tembakan komando sekitar pukul 09.00 waktu setempat, saat pasukan NICA mendekati inti pertahanan "Ciung Wanara".
Tembakan yang dahsyat dan serentak menyebabkan banyak korban yang berjatuhan di pihak NICA yang kemudian menjadi kacau dan mundur, namun kemudian melaju lagi secara bersyarat dan berpencar.
Pada jarak tembak yang efektif, secara serentak pasukan "Ciung Wanara" memuntahkan pelurunya, hingga memaksa pihak NICA harus mundur kembali untuk melakukan konsolidasi menghadapi segala kemungkinan yang timbul.
Pertempuran bertambah seru, karena pesawat NICA menjatuhkan bom-bom asap dan gas airmata, disamping mendaratkan pasukan andalnya, menjadikan sedikit-demi sedikit pasukan "Ciung Wanara" terdesak dari segala arah.
Pertempuran babak ketiga ditandai keluarnya perintah kepada seluruh pasukan "Ciung Wanara" untuk bertempur sampai titik darah penghabisan.
Seluruh anak buah pasukan I Gusti Ngurah Rai berdiri dan maju menyerang tantara NICA sambil berteriak "Puputan". Pasukan "Ciung Wanara" mengamuk dengan gencarnya. Tembakan yang gencar dari pihak NICA telah membuat satu per satu anggota "Ciung Wanara" jatuh dan gugur, sebagai "Ratna di medan laga".
Pertempuran Margarana merupakan salah satu dari 49 peristiwa penting di Bali sejak balatantara Jepang masuk ke Pulau Bali hingga penyerahan kedaulatan dari tangan penjajah Belanda ke Bangsa Indonesia selama kurun waktu 19 Februari 1942 hingga Desember 1949.
Margarana tercatat pada urutan peristiwa ke-29 dari rentetan puluhan perlawanan melawan penjajah yang terjadi di bumi Bali mulai dari Kabupaten Jembrana, ujung barat hingga Kabupaten Karangasem, di ujung Bali timur. (WDY)