Denpasar (Antara Bali) - Aktivis lingkungan, mulai dari mahasiswa hingga LSM yang tergabung dalam Forum Peduli Gumi Bali (FPGB), kembali menggelar aksi demonstrasi menolak revisi Perda RTRW di Gedung DPRD Bali, Kamis.
Mereka menuntut agar Pansus Pengkajian Perda RTRW Bali segera dibubarkan, karena merupakan kamuflase dengan tujuan untuk revisi. Namun demikian, di gedung rakyat itu tidak ada satu pun anggota dewan berada di tempat.
Kendati begitu, tidak menyurutkan aksi demonstrasi mereka. FPGB dengan kordinator lapangan Guntur Siliwangi, tetap menggelar aksi dan melakukan orasi.
Ditemui di sela-sela demonstrasi, Humas FPGB Abdul Haris mengatakan, pembentukan Pansus Pengkajian RTRW Bali merupakan langkah awal untuk melakukan revisi.
"Karena pansus sendiri tidak pernah berterus terang dengan agendanya. Ini bentuk pembodohan kepada rakyat, apabila hasil kajian pansus bermuara pada upaya revisi," kata Haris sambil meneriakkan yel-yel.
Ia berharap pada Gubernur Mangku Pastika untuk tetap konsisten memberlakukan perda tersebut. Sebab Perda RTRW sudah disahkan dan tinggal menerapkan di tingkat kabupaten/kota.
"Tetapi memang keputusan ada di DPRD Bali dengan telah terbentuknya pansus. Namun, perlu kami tegaskan, bahwa kami menolak dengan tegas upaya revisi, apalagi kalau untuk memuluskan jalan bagi investor," katanya.
Haris mengaku FPGB akan berupaya sekuat tenaga untuk mempertahankan keberlangsungan Perda RTRW Bali.
Apalagi, kata dia, RTRW sudah menjadi isu nasional. "Jika benar nantinya direvisi, kami akan menggalang kekuatan hingga tingkat nasional agar perda ini dapat bertahan dan memiliki kekuatan untuk diimplementasikan," ujarnya.
Demo juga diwarnai dengan aksi teatrikal. Sama seperti sebelumnya, dalam teatrikal itu FPGB juga menggelar pertandingan sepakbola antara investor yang berkolaborasi dengan bupati/wali kota se-Bali melawan aktivis pro Perda RTRW Bali.
Sementara itu, Sekretaris Pansus Pengkajian RTRW Bali Tjokorda Raka Kerthyasa yang datang usai aksi demo memastikan tidak akan merevisi Perda RTRW Bali, karena merupakan amanat undang-undang. Apalagi, jika hal itu dikaitkan dengan penolakan terhadap "bhisama" atau fatwa.
Ia mengatakan, tidak akan mempersoalkan "bhisama" yang sudah harga mati itu. "Kami tidak mempersoalkan 'bhisama'. Tetapi, bagaimana 'bhisama' itu diimplementasikan, itu yang kita bicarakan," katanya.(*)